Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan MoU ini dilatarbelakangi oleh kasus-kasus saat seorang tersangka, saksi maupun terdakwa yang saat akan diperiksa KPK terjadi hal yang tidak tidak wajar seperti pura-pura sakit atau pingsan.
"MoU ini menyangkut hal yang fundamental soal penilaian medis terhadap tersangkan saksi. Latar belakang di masa lalu ada kecenderungan orang yang akan diperiksa KPK ada hal yang menurut hemat kami dilakukan secara tidak wajar, misalnya pura-pura sakit, pura-pura pingsan," kata Ketua KPK Abraham Samad, dalam jumpa pers di KPK, Senin (11/6).
Untuk itu, lanjutnya, KPK menyadari betul KPK butuh keterangan yang lebih objektif yang disampaikan para ahli di bidang kedokteran. Tujuannya supaya KPK memahami tentang prosedur penilaian medis dan second opinion agar KPK mengerti masalah yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu Ketua IDI, Priyo Sidipratomo menyebutkan MoU ini tidak terlepas dari peran IDI sebagai salah satu komponen bangsa yang ikut bertanggungjawab dalam peberantasan korupsi.
"Idi punya tugas mempraktekan pendidikan kedokteran juga mutu dokter dari pengetahuan. Maka IDI merasa terpanggil untuk berkontribusi terkait permasalahan di KPK," ujar Priyo.
Kerjasama ini kedepan tidak hanya terpusat di KPK, tapi jajaran IDI Cabang juga harus ikut membantu KPK di level kabupaten/kota jika memang dibutuhkan oleh KPK. Berkaitan dengan permintaah tersangka, saksi maupun terdakwa untuk diperiksa oleh dokter pribadi, KPK menyebutkan masih dibolehkan selama tidak mengganggu proses penyidikan.
Namun atas kerjasama KPK dan IDI, seceond opinion dari dokter IDI juga tetap diperlukan dan keputusan akhir terkait kondisi medis tersangka, saksi dan terdakwa tetap ada ditangan IDI.
"Teman-teman dari IDI berikan dokter maupun dokter spesialis untuk memberikan second opinion. Penilaian IDI tidak boleh dibanding-bandingkan. Artinya kalau sudah ada pada IDI, putusan ini final," tegas Abraham Samad.
Bahkan Wakil Ketua KPK Zulkarnaen menambahkan, pemeriksaan oleh dokter pribadi masih bisa dipenuhi sepanjang tidak menghamabat atau tidak ada akal-akalan baik oleh tersangka, saksi maupun terdakwa.
Lantas bagaimana sanksi bagi dokter yang ditugaskan IDI, ternyata memanipulasi hasil medis tersangka, saksi maupun terdakwa? "IDI punya wewenang sanksi, mencabut rekomendasi yang bersangkutan tidak bisa praktek dokter lagi," tegas Ketua IDI Priyo Sidipratomo menambahkan.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rahmad Darmawan, Bagi Ilmu via Buku
Redaktur : Tim Redaksi