jpnn.com - JAKARTA - Mantan penjahat kelas kakap, Anton Medan, menilai, aksi kekerasan yang dilakukan tujuh mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara, asal Medan, bukan semata-mata dipicu arogansi senior kepada yuniornya.
Menurut pemilik nama asli Tan Hok Liang yang kini menjadi penceramah kondang itu, ada sejumlah faktor lain yang disinyalir ikut mendorong Angga dkk bertindak brutal kepada Dimas Dikita Handoko dan enam rekan seangkatannya.
BACA JUGA: STIP Akui Keterbatasan Awasi Perilaku Mahasiswa
Anton, yang sudah lama berkiprah di kawasan Jakarta Utara hingga kini itu, mengatakan, suasana Marunda yang "panas" ikut membentuk mental preman di kalangan warga yang ada di sana, termasuk para mahasiswa yang kos di sekitar kampus.
"Marunda itu daerah panas. Para perantau dari daerah-daerah berkarakter keras kumpul di situ. Makassar, Batak, Banten, di situ banyak sekali. Aksi kekerasan cukup sering terjadi di situ. Daerahnya padat, panas. Cuaca juga panas, daerah pantai, pelabuhan," ujar Anton Medan kepada JPNN di Jakarta, kemarin (28/4).
BACA JUGA: Dihajar Senior, Dimas Pendarahan di Otak
Anton Medan sendiri hingga kini masih sering blusukan di daerah Marunda dan sekitarnya. Di daerah berhawa "panas" itu, pria kelahiran Tebing Tinggi, 10 Oktober 1957, itu punya 1400-an anak binaan, yang sebagian mantan preman dan pengguna narkoba. Sebagian dari mereka dibina di pondok pesantren.
Lantas, apa perlu kampus STIP dipindah lantaran aksi kekerasan bukan kali ini saja? Pria yang sepanjang hidupnya 14 kali keluar masuk penjara itu mengatakan, tidak mungkin kampus dipindah karena sekolah pelayaran memang harus dekat laut.
BACA JUGA: Kenakan Baju Pasien, Mahasiswa STIP Jalani Pra-Rekonstruksi
Yang perlu dilakukan, lanjutnya, perlu diefektifkan peran tokoh agama di sana. "Termasuk di titik-titik yang banyak anak-anak kosnya. Misal seminggu sekali ada pencerahan dari tokoh agama, biar adem," sarannya.
Dia juga menduga, kemungkinan ada faktor balas dendam Angga dkk terhadap Dimas cs. "Bisa jadi, saat semasa masih SMA di Medan, antarsekolah mereka pernah terjadi tawuran pelajar. Nah, di STIP itu dijadikan ajang balas dendam," ujarnya.
Kemungkinan terakhir, memang Angga dkk sudah punya mental menjadi preman. Begitu dia menjadi Ketua Mahasiswa STIP asal Medan, maka dia memamerkan kekuasaannya. "Dia unjuk gigi sebagai penguasa ala preman. Mereka itu bukan mahasiswa, bukan intelektual, tapi preman," pungkas Anton.
Sementara, pihak STIP kemarin menggelar konperensi pers di Gedung BPSDM Kemenhub Jakarta Pusat.
Kepala STIP Rudiana Mukhlis mengatakan, baik pelaku maupun korban semuanya merupakan anak Medan.
"Korban meninggal dari Medan dan yang melakukan dari Medan. Semua dari Medan," ujar Rudiana.
Dia juga memastikan, tujuh pelaku semuanya sudah dipecat dari STIP. Yakni Angga, Fachry, dan Adnan yang menghajar Dimas hingga tewas. Dan empat pelaku lain, yakni Satria, Widi, Dewa, dan Arief, yang menghajar Marvin Jonatan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arief Permana, dan Imanza Marpaung.
Dalam konpres yang juga diikuti Kepala BPSDM Kemenhub Santoso Edi Wibowo dan Jubir Kemenhub JA Barata itu, tidak banyak hal baru yang disampaikan Rudiana. Dia hanya membeberkan kronologi kejadian, seperti yang sudah disampaikan pihak kepolisian.
Dia menceritakan, memang para pelaku tergolong mahasiswa bandel dan pernah dijatuhi sanksi. Namun, menurutnya, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku sebelumnya masih tergolong ringan. "Misalnya terlambat bangun pagi. Itu pelanggaran ringan," ujar Rudiana. (sam/gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Suami-Istri Tewas di Losmen dengan Mata Melotot
Redaktur : Tim Redaksi