APBNP Tersandera RUU Tax Amnesty

Sabtu, 27 Februari 2016 – 07:44 WIB
Wapres Jusuf Kalla. Foto: dok jpnn

jpnn.com - JAKARTA - Ditundanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak di DPR memusingkan pemerintah. Sebab, kepastian soal tax amnesty menjadi salah satu landasan penyusunan APBN Perubahan 2016.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, postur APBN Perubahan 2016 memang akan disesuaikan dengan kondisi terkini, termasuk potensi turunnya penerimaan pajak. "Kalau turunnya banyak, pengeluaran harus dipangkas banyak juga," ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (26/2).

BACA JUGA: HERAN! Menteri ESDM Kontra Rakyat, Apa Kabar Pak JK?

Sebagaimana diketahui, Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan bahwa RUU Tax Amnesty tidak akan dibahas di masa sidang kali ini. Tapi baru akan dibahas setelah reses atau masa sidang berikutnya pada April mendatang. Padahal, Maret nanti pemerintah harus sudah menyusun postur APBN Perubahan 2016. Isu yang berkembang menyebutkan bahwa penundaan itu merupakan akibat keputusan pemerintah yang menunda pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski hal tersebut dibantah pimpinan DPR.

Menurut JK, tanpa kepastian pembahasan RUU Tax Amnesty, pemerintah harus menyusun postur APBN Perubahan 2016 dengan asumsi bahwa penerimaan pajak tidak memperhitungkan tambahan dari potensi tax amnesty  "Mudah-mudahan di masa sidang yang akan datang bisa (selesai) lah," katanya. 

BACA JUGA: Menteri Marwan Janji Carikan Solusi untuk Aset eks PNPM

Salah satu opsi untuk menyelamatkan APBN dari ancaman melebarnya defisit akibat merosotnya penerimaan pajak adalah memangkas belanja. Saat ini pemerintah sudah menyiapkan rencana pemangkasan belanja kementerian/lembaga pada 2016 antara Rp 200-290 triliun.

Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin menerangkan, hasil kajian Tim Ekonomi Kantor Wakil Presiden memperkirakan Indonesia bisa meraup tambahan penerimaan pajak dengan jumlah signifikan jika tax amnesty diberlakukan. Hal itu berasal dari pelaporan atas dana-dana yang selama ini berada di luar negeri atau tidak dilaporkan pemilik dana. "Potensi tambahan penerimaan pajaknya bisa sampai Rp 80 triliun," ucapnya.

BACA JUGA: Ini Salah Satu Alasan Tax Amnesty Pantas Diboikot

Menurut mantan wakil rektor Universitas Paramadina tersebut, tahun ini adalah momentum pemberlakuan tax amnesty. Salah satu sebabnya, pada 2018 berlaku prinsip bank secrecy yang memungkinkan semua negara mengakses data perbankan, termasuk di luar negeri. "Bagi pemilik dana, daripada nanti ketahuan juga di 2018, lebih baik melaporkan sekarang dan membayar pajaknya," ujar dia.

Selain itu, kata Wijayanto, Indonesia yang kini tengah gencar-gencarnya membangun infrastruktur membutuhkan dana besar untuk membiayainya. Karena itu, di tengah menurunnya potensi penerimaan pajak akibat masih rendahnya harga komoditas, tambahan penerimaan dari tax amnestyakan sangat membantu. "Jadi, waktunya pas karena pemerintah sedang butuh tambahan penerimaan," tuturnya.

Menurut Wijayanto, pengampunan pajak bisa menarik minat pemilik dana karena insentif yang ditawarkan. Selain itu, dengan dilaporkan, pemilik dana bisa lebih leluasa memanfaatkan dananya untuk berbisnis di dalam negeri. "Ibaratnya, tax amnesty akan mengubah dana abu-abu menjadi dana halal secara hukum," ucap pria yang lama berkecimpung sebagai investment banker tersebut.

Selain itu, lanjut Wijayanto, ada sebagian pemilik dana yang menyembunyikan dana secara sangat rapi di luar negeri. Sehingga anak-cucunya pun tidak tahu keberadaannya. "Nah, tax amnestydimanfaatkan untuk membuka keberadaan dana itu. Sehingga tidak hilang saat si pemilik yang mungkin sudah sangat senior meninggal, tetapi bisa diwariskan kepada anak cucunya," jelas dia.

Sementara itu, pengamat pajak dari Universitas Indonesia (UI) Darussalam menilai manfaat kebijakan pengampunan pajak sangat banyak bagi pembangunan dan masyarakat miskin. "Dana hasil pengampunan pajak yang sangat besar itu bisa menambah modal pemerintah untuk mempercepat program pembangunan, mengurangi pengangguran dan kemiskinan," ujarnya.

Darussalam memperkirakan masih ada setidaknya 63 persen wajib pajak yang tidak patuh di dalam negeri. Dengan peng­ampunan pajak, diharapkan kelompok tersebut dapat menjadi basis pajak yang baru dan ke depan berjalan dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. "Ini membangun babak baru kepatuhan pajak di Indonesia," kata dia.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menegaskan, saat ini merupakan waktu yang paling ideal bagi Indonesia untuk memberlakukan pengampunan pajak. Apalagi, wacana tersebut sudah muncul mulai tahun lalu. "Kita dalam posisi point of no return. Kalau batal, akan meruntuhkan kepercayaan wajib pajak kepada pemerintah," tuturnya.

Pemerintah butuh tambahan penerimaan pajak untuk mengejar target Rp 1.360 triliun pada 2016 ini. Dana itu dipakai untuk membiayai program pembangunan prioritas seperti infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, kesehatan, perumahan, dan pen­didikan. "Dengan begitu, ketergantungan pada utang luar negeri bisa dikurangi." (owi/wir/c9/sof/dil/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... TOP! Bandara Rembele Bisa Didarati Boeing 737


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler