"Pemerintah kota/kabupaten tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Mereka menetapkan UMK tidak berdasar UU yang berlaku," tegas Johnson M Simanjuntak, Koordinator Dewan Pengupahan Apindo Jatim, Rabu (14/11).
Merujuk UU 13 tahun 2003, penentuan UMK harus berdasarkan pencapaian KHL (kebutuhan hidup layak). Jadi, kata Johnson, bukan harus melebihi KHL. Selain itu, tambah Atmari, pengurus Bidang Hukum dan Advokasi Apindo Jatim, bahwa pemicu usulan UMK yang tidak wajar ini adalah Surat Edaran (SE) Gubenur bernomor 560/5914/031/2012 tertanggal 30 Maret 2012. Dalam salah satu ayat disebutkan besaran angka usulan UMK 2013 minimal sama dengan KHL atau sesuai dengan kebijakan Bupati/Walikota. "Padahal, draft yang kami setujui pada rapat tripatrit (Apindo, Pemprov, Serikat Pekerja) bunyinya tidak itu," ungkapnya.
Dia menyebut besaran angka usulan UMK mempertimbangkan pencapaian KHL sebelumnya secara bertahap sampai terpenuihnya nilai KHL. Menurut Atmari Apindo Jatim sudah melayangkan keberatan pada 27 April lalu tentang perubahan ayat tanpa sepengetahuan mereka. "Tapi, sampai sekarang belum ada tanggapan," tuturnya.
Karena SE itu, akhirnya banyak kabupaten/kota yang mengusulkan nilai UMK di atas KHL, karena tidak ada batasan maksimal, SE hanya mengatur nilai minimal. "Dampaknya sejumlah daerah menarik usulan nilai UMK untuk dibuat lebih tinggi, karena tidak ingin kalah dengan daerah lain," jelasnya.
Bahkan terjadi persaingan besaran UMK di 5 kabupaten/kota. Kabupaten Pasuruan misalnya mengusulkan UMK Rp1.552.650 jauh melampaui KHL Surabaya sebesar Rp 1.425.000 mengakibatkan Wali Kota Surabaya mengatrol usulannya jadi Rp1.567.000. Lalu Kabupaten Sidoarjo yang tidak mau kalah dengan Kabupaten Pasuruan, mengusulkan Rp1.560.000. Terakhir, Kabupaten Pasuruan mencabut usulannya dan menyampaikan usulan baru yang lebih besar dari Kabupaten Sidoarjo, Rp1.565.500. "Usulan di ring 1 terlalu ekstrem, dibanding 33 kabupaten/kota lainnya yang kenaikan UMK-nya dibanding tahun lalu rata-rata 10,37 persen. Lima kabupaten/kota itu kenaikannya kisaran 20 persen hingga 26 persen," tambahnya.
Johnson mengatakan pemerintah terlalu memaksakan diri. Apalagi, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pernah menyebut UMK harus 150 persen KHL. Menurut dia pengusaha bersedia melaksanakan keinginan itu. Namun, pengusaha harus melihat kemampuan. Jika dipaksa, pilihan utama adalah menutup pabrik sehingga, terjadi PHK. "Seharusnya, pemerintah pusat atau daerah kalau menentukan UMK secara sepihak juga, harus ikut tanggung jawab," tuturnya.
Dia mencontohkan Surabaya, kenaikan UMK banding tahun lalu mencapai 24 persen. Padahal, kemampuan pengusaha dengan berdasar perkembangan ekonomi makro berkisar 12 persen. "Seharusnya, gap 12 persen di subsidi oleh Pemkot. Itu sangat fair. Jadi, seperti BLT (bantuan langsung tunai," paparnya. (dio)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Luncurkan PLN Corporate University
Redaktur : Tim Redaksi