jpnn.com - PANEN kates unggahno jaran.
Yen ono....
BACA JUGA: Luar Dalam
Pantun itu tidak dilanjutkan oleh yang mengucapkannya: Gus Yahya.
KH Yahya Staquf. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
BACA JUGA: God Bless
"Nanti sajalah.... kalian akan tahu sendiri...pokoknya jaran," katanya.
Pantun dengan sampiran 'jaran' (kuda) itu sengaja tidak dilanjutkan, tetapi siapa pun yang suka pantun bisa menebak kata apa yang akan muncul di akhir pantun.
BACA JUGA: Bani Firaun
Kan, Anda sudah tahu: dari semua capres-cawapres hanya satu yang namanya berakhiran huruf 'a' dan 'n'.
Dari pantun yang terucap sampirannya saja itu, orang bisa menebak ke mana arah PBNU.
Videonya telah beredar luas. Yakni video sebuah acara di Kendal, Jawa Tengah.
Pengurus PBNU bertemu dengan semua pengurus NU se Jawa Tengah.
Tuan rumah mengundang pula seluruh pengurus NU tingkat kecamatan se kabupaten Kendal.
Di panggung terlihat KH Yahya Staquf. Tampak juga Sekjen PBNU Saifullah Yusuf. Para pengurus cabang duduk di kursi menghadap ke panggung.
Salah satu pengurus cabang berdiri. Mengajukan pertanyaan seputar Pilpres. Dia mengaku banyak mendapat pertanyaan dari anggota.
"Warga NU itu kalau diberi kebebasan malah bingung," katanya.
Maka dia minta ketua umum PBNU memberikan bocoran: siapa capres yang harus didukung.
"Beri kami isyaroh-nya," pintanya. Isyarat pun cukup. Tidak perlu menyebutkan nama.
Sebenarnya Gus Yahya seperti enggan memberi isyaroh. Dia minta warga NU bersabar. Toh, Pilpresnya masih beberapa bulan.
Akan tetapi akhirnya Gus Yahya berpantun: "Ampel dekat Kaliwungu. Orang-orang nempel ke NU".
Lalu: "Panen kates tumpakno jaran. Yen ono..." Gus Yahya tidak melanjutkannya.
Tanpa pantun seperti itu pun Kiai NU seperti KH Imam Jazuli Cirebon sudah tahu ke mana arah PBNU.
Kiai Jazuli, Anda sudah tahu: pencipta motto "NU kultural wajib pilih PKB, NU struktural sakkarepmu". Motto lainnya: "Warga NU Wajib Ber-PKB".
Kiai Jazuli boleh dikata menjadi kiai paling depan yang menginginkan NU punya satu saja wadah perjuangan politik: PKB.
Gus Yahya tidak ingin NU jualan suara. "Warga NU itu 56,9 persen. Kalau hanya dijual untuk satu-dua amplop itu menjatuhkan martabat," katanya.
Yang akan dia lakukan bukanlah menjual NU. "Kita akan melakukan aliansi. Bukan jualan," kata Gus Yahya.
Aliansi yang dimaksud adalah menjalin hubungan dengan yang punya misi sama dengan NU. Dengan demikian tujuan NU bisa tercapai: untuk kejayaan NU dan kejayaan Indonesia.
Intinya: Gus Yahya ingin Indonesia maju. Caranya: apa yang sudah dicapai sekarang harus berlanjut. Dan itu berarti harus "numpak jaran" (naik kuda).
Bagaimana dengan Khofifah Indar Parawansa –Gubernur Jatim saat ini?
Sudah pula ada isyarat yang sangat kuat ke mana dia akan berlabuh.
Itu bisa dilihat dari susunan pengurus tim kampanye nasional Prabowo-Gibran. Ada nama KH Asep Saifuddin Chalim di sana.
Kiai pondok Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, itu adalah koin yang sama dengan Khofifah –beda sisi saja.
Ayahanda Kiai Asep baru saja diangkat Presiden Jokowi sebagai Pahlawan Nasional, sehari sebelum Hari Pahlawan kemarin.
Presiden Jokowi juga hadir ketika Kiai Asep menerima gelar profesor di UINSA Surabaya dua tahun lalu.
Lebih 20.000 santri belajar di Amanatul Ummah. Perguruan tingginya sudah punya program S-3.
Kiai Asep all-out menjadikan Khofifah gubernur Jatim. Orang Jatim tahu itu. Kiai Asep-Khofifah selalu sejalan.
Maka saya sulit menebak berapa persen suara NU akan ke Ganjar - Mahfud, ke Anies-Muhaimin, dan ke capres-cawapres yang justru bukan dari kalangan NU: Prabowo-Gibran.
Pun di Rembang. Saya sulit membayangkan bagaimana hubungan Gus Mus dengan Gus Yahya.
"Bapak" dan "Anak" (Gus Yahya adalah keponakan yang sudah dianggap anak oleh Gus Mus). Satu kampung. Satu pondok. Satu hati.
Kali ini Gus Yahya pilih naik kuda. Gus Mus menjadi satu barisan dengan tokoh-tokoh nasional yang kini anti-Jokowi: Goenawan Mohamad, Ery Riyana, Butet Kartaredjasa, dan teman-temannya.
Mereka baru saja ke Rembang. Ke rumah Gus Mus: menggalang gerakan. Memperluas jaringan. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diam Hanyut
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi