Tim Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) tidak hanya berkutat dengan pekerjaan di udara. Tim yang diandalkan untuk menepis pergerakan awan pembawa hujan bagi Jakarta dan sekitarnya ini juga membutuhkan kerja serius di darat. Koordinasi darat dan udara mutlak dibutuhkan agar target kerja tim bisa tercapai sesuai rencana.
HENDROMASTO, Jakarta
POSKO Tim TMC tampak lengang saat INDOPOS (Grup JPNN) bertandang. Hanya ada dua orang di depan sederet meja kursi komputer meja. Satu petugas perempuan duduk tanpa aktivitas sembari mengamati cuaca di landasan pacu pangkalan militer Halim Perdana Kusuma. Meja melingkar di balik deretan komputer itu juga sepi. Hanya ada dua orang yang sedang asyik memantau komputer jinjingnya. Posko ini menjadi pusat kendali rekayasa cuaca sejak 25 Januari lalu hingga Maret nanti.
”Kami harus memantau perkembangan awan pembawa hujan Mas. Di mana awan itu berada, ke arah mana pergerakannya dan berapa potensi intensitas curah hujannya harus terus dipantau,” ujar Tri Handoko Seto, Korlap Posko Teknologi Modifikasi Cuaca kepada INDOPOS.
Seto, sapaannya, adalah orang yang bertugas memberi komando di titik mana garam pemancing hujan harus ditebar. Komando dari Seto menjadi panduan kerja pilot Herkules pengangkut garam bergerak. Dari darat, Seto memberi komando pilot ke sisi kiri atau kanan pesawat garam harus dijatuhkan. Pilot yang menerima kabar lantas menyampaikan kepada petugas penghubung dengan penabur garam.
Sebelum Herkules terbang, bersama para penerbang TNI AU Seto sudah memapar koordinat awan yang menjadi target. Radar pemantau gerak awan menajdi andalan Seto untuk melakukan pekerjaan ini. Pada layar radar yang terhubung dengan komputer, gerakan awan menuju Jakarta dan sekitarnya terlihat dengan jelas.
Gumpalan berwarna merah adalah tanda awan sudah mulai menurunkan air hujan. Warna kuning hingga jingga adalah tanda awan matang siap menurunkan hujan sedangkan hijau menjadi isyarat awan masih muda.
Gumpalan-gumpalan awan warna-warni yang terpantau itu lantas dilihat arah gerakannya. Jika bergerak menuju kawasan target, Jakarta dan sekitarnya, maka Herkules akan diterbangkan menuju lokasi awan untuk mencegatnya. Sebelum awan yang terpantau lewat radar bergerak mendekati wilayah target, awan tersebut dipaksa untuk menurunkan air hujannya dengan taburan garam.
Seto menyebut, awan yang ditaburi garam tidak selamanya langsung menghabiskan kandungan uap airnya. Awan tersebut bisa saja masih mengandung uap air dan tetap melaju menuju Jakarta. Tetapi, garam yang memaksa awan menurunkan hujan dengan sendirinya awan tersebut tidak akan banyak mengandung uap air saat mencapai wilayah Jakarta.
”Dalam hitungan kami, setidaknya modifikasi cuaca semacam ini bisa menurunkan intensitas curah hujan hingga 30 persen di wilayah target,” kata Seto. Pria asal ujung timur pulau Jawa ini menambahkan, sejak 25 Januari lalu upaya modifikasi cuaca bisa disebut telah memberi hasil cukup memuaskan.
Kepala UPT Hujan Buatan BPPT Heru Widodo yang duduk di samping Seto menambahkan, modifikasi cuaca demi mengurangi masa uap air pada awan agar intensitas hujan di suatu kawasan berkurang jauh lebih lebih rumit dari kerja mendatangkan hujan.
Tim Teknologi Modifikasi Cuaca memang tidak hanya punya kemampuan ’menolak’ hujan, mereka juga lihai ’memanggil’ hujan. Semua tanpa mantra layaknya dukun hujan. ’’Menciptakan hujan buatan lebih sederhana dari pekerjaan yang sekarang dilakukan untuk Jakarta. Hanya butuh awan, lalu menyemainya menjadi hujan,’’ ujar Heru.
Tim Teknologi Modifikasi Cuaca yang digawangi Seto dan Heru ini tidak hanya bertugas di Jakarta. Sepanjang tahun, tim tersebut sibuk dengan kerja-kerja modifikasi cuaca. Mendatangkan hujan di kawasan yang mengalami kebakaran hujan adalah menu rutin setiap tahun. Begitu pula dengan kerja mendatangkan hujan untuk mengisi waduk sumber tenaga pembangkit listrik milik PT PLN. Bahkan, sejumlah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pertambangan rajin pula meminta bantuan tim ini untuk mendatangkan hujan.
”Daerah-daerah yang mengalami kekeringan sering meminta bantuan hujan buatan. Pemerintah setempat biasanya menghubungi pemerintah pusat dan lalu dari pusat kami ditugaskan untuk memenuhi permintaan daerah tersebut,” papar Heru.
Untuk swasta, pihak pemohon cukup mengajukan permintaan agar tim ini bisa bekerja. Soal tarif, baik untuk swasta maupun intansi plat merah dipatok pada argo yang sama, Rp 114 juta per hari. Jika kerja tim mencapai 10 hari, maka dana yang dibutuhkan setidaknya sudah Rp 1 miliar lebih. Heru menyebut, tarif tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan sejak 2008 silam. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Pawang Hujan Andalan BPPT
Redaktur : Tim Redaksi