JAKARTA - Setelah menjatuhkan vonis mati terhadap Wawan, pembunuh Sisca, vonis yang sama kembali diketok Mahkamah Agung (MA) terhadap dua warga Malaysia yang terlibat kasus penyelendupan narkoba. Mereka ialah kakak beradik Thai Woon Foi, 55 dan Thai Wong Fong, 54 yang terlibat penyelundupan 300 ribu butir ekstasi dan 30 kg sabu.
Dua WNA itu tertangkap Ditreskoba Polda Metro Jaya, 17 April 2012. Pada 6 Februari 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup kepada Fong dan Foi. Kala itu terdakwa dan jaksa sama-sama mengajukan banding.
Celaka bagi Thai bersaudara, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta malah berani menjatuhkan vonis hukuman mati pada April 2013. Thai bersaudara mencoba mengajukan kasasi. Tapi, hasilnya pun nihil. Trio hakim Artidjo Alkostar, Surya Jaya, dan Sri Murwahyuni menolak kasasi tersebut. Kedua kakak beradik itu tetap dihukum mati.
Dalam putusannya, Artidjo menyebutkan bahwa menjatuhan hukuman mati sebagaimana Judex Facti sudah tepat dan benar, sebab jumlah narkoba yang diedarkan sangat banyak. "Perbuatan terdakwa bisa berakibat menghancurkan generasi bangsa, bahkan bisa mematikan ratusan orang serta merusak jiwa dan generasi di Indonesia," ucap Artidjo.
Sementara itu, pro kontra atas vonis mati masih terus berlanjut. Kejaksaan Agung menganggap vonis mati sebagai hukum positif di Indonesia. Hal tersebut layak diberikan pada terdakwa kejahatan kelas berat.
Hal tersebut disampaikan Kapuspenkum Kejagung Tony T. Spontana. Dia mengatakan, pada dasarnya hakim memiliki pertimbangan sendiri dalam memutus perkara dan tidak boleh ada yang mengintervensi. "Di luar itu, hukuman mati memang masih masuk ke dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, tidak aneh apabila hakim memutus hukuman mati kepada terdakwa kejahatan kelas berat," ujarnya.
Pembunuhan berencana, penyelundupan narkoba dan terorisme menurut Toni bisa dikategorikan kejahatan berat. Dia mengatakan, di sejumlah negara maju, memang tak ada hukuman mati. Namun, seorang terdakwa bisa dihukum penjara 50, 100 bahkan ada yang 200 tahun. "Itu apa bedanya dengan hukuman mati? Sama saja," papar Toni.
Meskipun mendukung putusan MA, pihaknya selaku eksekutor tidak bisa serta merta mengeksekusi Wawan. Dia masih punya hak untuk mengajukan peninjauan kembali hingga memohon grasi kepada presiden. "Saya tidak menyebut waktunya, namun yang jelas bisa lama," lanjutnya.
Tidak heran, tahun lalu kejagung masih punya sekitar 100 terpidana mati yang belum dieksekusi. Sebagian dari mereka masih dalam proses PK, sebagian lagi grasi, dan sebagian kecil di antaranya sudah inkracht dan tinggal menunggu eksekusi.
Apabila sudah inkracht, terpidana tidak bisa juga langsung dieksekusi. Dia akan diberi bimbingan psikologi, rohani, dan jaksa wajib memenuhi permintaan terakhir terpidana mati. "Tentunya permintaan terakhir yang wajar," lanjutnya.
Saat ini, Jampidum sedang memilah-milah daftar terpidana mati tersebut. Jampidum akan membuat kategorisasi yang jelas agar mudah dipahami masyarakat. Sebab, selama ini data kejagung dan Kemenkum HAM soal terpidana mati berbeda. Perbedaan tupoksi membuat list terpidana mati menjadi tidak seragam.(byu/gun/kim)
BACA JUGA: NasDem Berharap Islah KIH dan KMP Diteken Cepat
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhan Ingin TNI Masuk 10 Terkuat di Dunia
Redaktur : Tim Redaksi