Artis menjadi Politikus atau Artis vs Politikus?

Jumat, 08 Februari 2013 – 18:48 WIB
BARU-BARU ini, penggeledahan yang dilakukan oleh jajaran kepolisian yang mendapati presenter Dahsyat Raffi Ahmad dan enam belas teman-temannya termasuk Wanda Hamidah (politikus PAN dan mantan aktris) telah memicu badai media di tanah air.

Jika ditinjau ke belakang, kontroversi ini tidak dapat dihindari dan isu yang paling banyak dibahas dan diperdebatkan selama ini bukanlah sekedar penggunaan obat-obatan terlarang-namun lebih dari itu menyorot kehadiran sejumlah artis dan selebritis yang menjadi bagian dari sebuah partai politik.

Disini kemudian letak dilemanya. Pemimpin-pemimpin partai politik menginginkan kemenangan dalam pemilu. Mereka membuat perhitungan terang-terangan: bahwa semakin banyak suara maka semakin baik. Oleh karena itu, mereka membutuhkan kandidat yang dikenal, disukai dan jika memungkinkan yang bisa menarik simpati dan hormat dari masyarakat.

Ketika kita disodorkan dengan sejumlah nama yang terkenal, seorang profesional yang jamak kita sebut “artis” – penyanyi, aktor, presenter TV dan sejenisnya, bagi standar strategi politik, orang-orang seperti mereka ini punya sebutan “kiriman Tuhan”. Mereka seperti menginjeksi faktor “wow”!, menarik golongan pemuda sinis yang biasanya tidak berminat terhadap dunia perpolitikan.

Tentu saja, masuknya bintang Naga Bonar, Deddy Mizwar yang bergandengan dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan telah mendorong kader PKS ini dan peluang incumbent untuk bertarung lebih gigih melawan mantan wakilnya, Dede Yusuf yang juga merupakan seorang artis.

Setiap orang tahu bahwa selebriti bisa menjual produk dan jasa: dari obat batuk hingga mobil. Secara realistis, lompatan ke dunia politik bagi mereka sepenuhnya logis.

Selain itu, munculnya selebriti-selebriti instan yang laris manis saat ini, yang membuka pagi di seluruh stasiun televisi dengan suguhan program infotainment-pemberitaan perceraian, perselingkuhan atau percekcokan orang-orang kalangan atas (khususnya wanita), kita semakin dibuat tertegun oleh perubahan-perubahan artis tanah air.

Namun masih akan ada sisi kebalikannya.

Untuk melambungkan ketenaran di dunia hiburan yang sangat kompetitif, seorang artis harus terlihat lebih menonjol dari bagiannya.

Tidak hanya bermodalkan penampilan bagus saja, namun artis harus menjadi jauh lebih dari itu: lebih dramatis, lebih khas dan seringnya lebih melampaui batas. Singkatnya, ini persoalan bagaimana memiliki kepribadian dan “membiarkan semuanya benar-benar dinilai masyarakat.” Boleh dibilang dunia kita saat ini bukan lagi dunia yang menjemukan dimana segala keistimewaan dan keeksentrikan disukai. Sebagai seorang entertain, semangat, individualitas dan bakat adalah yang paling dihargai.

Di sisi yang sama, saat strategi politik menyurvei pengaruh media sosial kepada figur-figur seperti mereka, tidak ada salahnya bertanya berapa banyak ‘follower’ dan ‘teman-teman’ yang mengikuti mereka karena didorong oleh rasa respek dan bukan rasa ingin tahu yang berlebihan atau faktor ketenaran artis tersebut saja.

Namun tentu saja, politik juga memuat kepribadian-kepribadian yang bervariasi. Ruhut Sitompul dan Bambang Soesatyo tiba-tiba menghampiri pikiran saya. Tetapi dalam politik, khususnya di sebuah partai, kepribadian-kepribadian tersebut harus bisa bekerja sama untuk kebaikan yang lebih besar sebuah partai: koordinasi dan pendapat kolektif adalah sangat penting.

Tidak perlu ditanyakan lagi, sudah pasti akan selalu ada perbedaan pendapat mengenai startegi dan eksekusi, tetapi tidak akan pernah ada seorang anggota partai yang bertahan lama jika dia mengedepankan fokus semata-mata untuk agenda pribadinya.

Itulah tantangan mendasar bagi partai politik untuk merangkul para artis: kesuksesan mereka bertumpu pada individualitas dan sisi flamboyan artis sedangkan kader partai yang baik harus bersedia dan mampu bekerja sama dengan orang lain dengan bermacam-macam karakteristik dan kalangan kelas. Kedisiplinan, koordinasi dan loyalitas sangat penting. Tidak mengherankan, banyak pihak menemukan kesulitan bagaimana mengatur kontradiksi ini.

Jadi, saat ini siapakah artis yang  sukses bertransformasi dari dunia seni ke dunia politik? Di antara banyak artis yang ada di DPR, contoh terbaik bisa kita sematkan kepada seorang pemimpin seperti Rieke Diah Pitaloka (dikenal dengan sebutan “Oneng”) dari PDIP dan Nurul Arifin dari Golkar.  Keduanya bisa menggolongkan identitas sebelumnya sebagai pekerja seni ke dalam persona mereka di depan publik saat ini.

Dalam hal ini, transformasi mereka sama seperti pemenang dua kali piala Oscar, seorang aktris Inggris Glenda Jackson yang menanggalkan dunia perannya di depan kamera dan sekarang menempati kursi di Partai Buruh di Dewan Perwakilan Rakyat Inggris (British House of Commons) yang tidak lama lagi akan ia kosongkan. Di usianya yang hampir tujuh puluh, ia mengubah dirinya menjadi politikus tangguh tanpa kompromi dan berprinsip. Begitu banyak yang ia lakukan diantaranya ia menjadi salah satu dari sedikitnya anggota dari Partai Buruh yang mengecam tindakan Tony Blair atas keputusannya kepada Irak.

Maka jika anda akan mendorong para artis untuk bergabung dengan partai anda, pastikan bahwa mereka tergolong artis yang cerdas, pekerja keras, dan memeliki keseriusan terhadap keputusan yang dipilih. [*]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seminggu yang Lama dalam Politik

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler