DAMASKUS - Keberingasan para tentara pemerintahan Presiden Bashar al-Assad terhadap demonstran di Syria membuat dunia internasional geram. Tekanan atas rezim Assad pun bertambah kuat pasca-veto Rusia dan Tiongkok terhadap draf resolusi DK PBB yang menuntut supaya penguasa 46 tahun itu mundur dari jabatannya.
Amerika Serikat (AS) memutuskan menarik Duta Besar (Dubes) Robert Ford dan menutup kedutaan besarnya di Kota Damaskus Senin lalu (6/2). Kemarin (7/2) giliran empat negara Barat (Belgia, Italia, Prancis, dan Inggris) yang mengumumkan penarikan dubes mereka dari Syria.
Dalam wawancara eksklusif lewat program Today yang disiarkan stasiun TV NBC News Senin lalu waktu setempat, Presiden AS Barack Obama mendesak agar Assad mundur dari jabatannya. "Rezim Assad kini merasakan semakin banyak tekanan. Kami akan meningkatkan tekanan sampai terwujud transisi yang diharapkan di Syria," katanya.
Obama juga menegaskan bahwa AS tidak berniat untuk melancarkan agresi ke Syria, seperti dikhawatirkan Rusia dan Tiongkok. "Tidak setiap masalah bisa diselesaikan dengan aksi militer seperti yang terjadi di Libya. Penting bagi kita semua untuk mencari jalan keluar selain intervensi militer. Rasanya, hal tersebut sangat mungkin dilakukan," papar presiden 50 tahun kelahiran Hawaii tersebut.
Kemarin Deplu AS menegaskan bahwa pihaknya telah menghentikan seluruh aktivitas diplomatik di Syria. Kantor Kedubes AS yang terletak di jantung ibu kota juga ditutup. Atas pertimbangan keamanan, Washington menarik Ford dan seluruh diplomat AS yang bertugas di Syria. Namun, penarikan itu bersifat sementara.
"Kami dan negara-negara yang punya kantor diplomatik di Syria sudah berkali-kali minta pemerintah agar peduli pada keselamatan staf kami. Namun, sejauh ini tidak ada tanggapan memuaskan," terang Jubir Deplu AS Victoria Nuland dalam pernyataan tertulis. Karena itu, Washington memutuskan untuk menarik para diplomatnya dari Syria.
Meski begitu, AS berjanji akan tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Syria. Hanya saja, segala bentuk urusan diplomatik akan dikendalikan dari Washington. Dubes Ford hanya akan balik ke Damaskus setelah kondisi keamanan membaik. "Setelah semua membaik, dalam menjalankan tugasnya di Syria, dubes akan berkoordinasi dengan tim diplomatiknya di Washington," imbuh Nuland.
Bersamaan dengan itu, Inggris juga memanggil pulang Dubes Simon Collis dari Syria. Tindakan sama dilakukan Italia dan Prancis. "Menanggapi represi rezim yang makin buruk, pemerintah Prancis memutuskan untuk menarik dubes maupun staf diplomatik dari Syria untuk konsultasi," terang Bernard Valero, jubir Kemenlu Prancis.
Menurut Valero, Prancis akan melanjutkan pembahasan sanksi atas Syria dengan negara-negara anggota Uni Eropa (UE) lain. Dia berharap rencana UE menjatuhkan sanksi ekonomi atas rezim Assad bisa terwujud. Sebab, tekanan ekonomi itu bakal menjadi pukulan telak bagi Assad dan seluruh kroninya sehingga mereka mau meletakkan jabatan.
Seperti AS, Prancis beserta Inggris dan Italia tidak akan selamanya menarik dubes dari Syria. Valero menegaskan bahwa dubes dan diplomatnya akan kembali ke Syria dalam waktu dekat. Apalagi, UE menyatakan tidak akan menarik delegasinya di Syria. "Kami akan bertahan di Syria untuk melakukan pengawasan dan memberikan laporan," terang Michael Mann, jubir UE.
Sementara itu, Menlu Rusia Sergei Lavrov, 61, tiba di Damaskus dalam kunjungan kemarin. Ribuan warga ibu kota menyambut kedatangan Lavrov dengan sorak-sorai. Begitu tiba, Lavrov langsung mengikuti pawai di pusat kota dengan pengawalan ketat. Kepala Intelijen Asing Rusia Mikhail Fradkov, yang menemani Lavrov, menuju istana kepresidenan.
"Terima kasih Rusia dan Tiongkok," bunyi beberapa spanduk yang sengaja dibentangkan di beberapa sudut ibu kota. Damaskus yang beberapa waktu lalu menjadi ajang pertempuran tentara Assad dan oposisi juga berhias. Balon dan pita warna-warni mempercantik kota. Para pendukung Assad berjejer di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera Syria dan Rusia.
"Penting bagi masyarakat Arab hidup berdampingan dalam damai. Masing-masing pemimpin di tiap negara juga seharusnya saling peduli karena mereka berbagi tanggung jawab yang sama," ujar Lavrov dalam pertemuan dengan Assad.
Prancis dan Inggris berharap, dalam kunjungannya ini, Lavrov bisa membujuk Assad agar mundur dan mengakhiri krisis politik di Syria. Sayang, tekanan dunia internasional tak membuat pasukan Assad berhenti menyerang.
Kemarin, militer pemerintah melanjutkan serangannya di Kota Homs. Dalam serangan hari ke-4 itu, sedikitnya 15 warga sipil tewas. Namun, militer mengklaim bahwa empat korban tewas adalah serdadu. Mereka bersikeras bahwa serangan itu dilancarkan kepada teroris yang bersembunyi di Homs.
Bahkan, oposisi Dewan Nasional Syria (SNC) menyebut data jumlah korban jiwa tambahan. Sebelumnya, laporan menyatakan bahwa 50 tewas dalam serangan atas Homs dan beberapa wilayah lain pada Senin lalu. Menurut SNC, roket dan artileri tentara pro-Assad yang membombardir beberapa kota juga menewaskan 79 warga sipil lainnya.
Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sedikitnya 42 warga sipil di Homs kembali tewas dalam serangan lanjutan tentara Assad. Serdadu pemerintah juga melancarkan serangan di Zabadani, pinggiran Damaskus. Korban jiwa warga sipil juga jatuh di Rastan, Hula, dan Qusair, Provinsi Homs, serta Sarghaya, dekat Damaskus, maupun Kota Aleppo di utara dan Idlib, barat laut Syria.(AP/AFP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Veto Keluar, Assad Kian Nekad
Redaktur : Tim Redaksi