Asia Sentinel yang Bikin Sentimen

Oleh Auri Jaya

Rabu, 19 September 2018 – 23:56 WIB
Sekjen Partai Demokrat (PD) Hinca Panjaitan (kemeja putih) saat menyampaikan kengaduan tentang pemberitaan Asia Sentinel di Dewan Pers, Senin (17/9). Foto: Fathan Sinaga/JPNN.Com

jpnn.com - Berita soal skandal Bank Century yang kami terjemahkan dari Asia Sentinel itu ternyata bikin heboh. Menjadi viral di dunia maya. Apalagi setelah mendapatkan reaksi keras dari Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) berikut partainya,  Partai Demokrat. Berita itu disebut sangat menyudutkan Pak SBY.  Bahkan memfitnah. Sehingga, wajar kalau pendiri Partai Demokrat itu kecewa, dan marah.

Tulisan ini tidak mengulas soal tulisan John Berthelsen yang juga pendiri Asia Sentinel. Akibat menerjemahkan tulisan Berthelsen yang diunggah di Asia Sentinel itu, kami sempat dicurigai memiliki sentimen. Tentu sentimen terhadap Pak SBY. Apalagi, media kami adalah media yang pertama menerjemahkan kemudian mengunggahnya ke dunia maya. Di media ini.

BACA JUGA: Syarief: Presiden Jokowi Titip Salam ke SBY

Sungguh itu di luar dugaan kami. Demikian pula  redaktur kami yang menerjemahkan artikel tersebut, kemudian mengunggahnya. Tidak menyangka bahwa berita sadurannya  itu  menjadi viral. Ia juga tidak menyangka berita itu akan menimbulkan prasangka. Menjadi pembicaraan, kemudian ‘digoreng’ oleh media lain hingga menimbulkan kegaduhan politik.

Sama sekali tidak ada niatan buruk dari kami. Juga tidak ada niatan untuk menyudutkan seseorang. Apalagi menyudutkan Presiden VI RI, Pak SBY. Pemuatan berita terjemahan itu semata-mata hanya dilandasi naluri jurnalistik sang redaktur. Apalagi, redaktur kami yang satu ini baru saja mendapatkan predikat sebagai redaktur teladan.

BACA JUGA: Bamsoet Sarankan SBY Dorong KPK Tuntaskan Century

Ia dikenal sebagai redaktur yang serbabisa. Ia juga dikenal galak, terutama dalam mengkritisi tulisan. Mulai dari penyajian isu berita sampai masalah ejaan yang tidak berdasarkan KBBI. Ia juga dikenal tajam soal mengendus isu. Terutama isu-isu politik. Maklum, ia telah menghabiskan separuh karier wartawannya di parlemen. Sehingga, naluri isu politiknya lumayan tajam.

Dalam isu internasional pun tidak pernah ketinggalan. Kebiasaannya, dini hari menjelang Subuh ia sudah berselancar ke dunia maya. Mula-mula memeriksa berita-berita yang telah diunggah oleh rekan-rekannya sesama redaktur. Mengkritisi yang perlu dikritisi. Mengoreksi ejaan yang salah. Tidak jarang pula mengkritisi wartawan yang nakal. Karena itulah, ia dijuluki sebagai hansipnya redaktur.

BACA JUGA: Pemberitaan Asia Sentinel Fitnah, Bunuh Karakter Pak SBY

Setelah itu, ia berselancar ke dunia lain. Berita-berita internasional tidak luput dari perhatiannya. Saat itulah ia menemukan artikel yang ditulis Berthelsen. Rabu (12/9) setelah Subuh sang redaktur menterjemahkan artikel tersebut. Setelah sebelumnya, ia berbagi tugas dengan reporter di grup WA untuk mengkonfirmasikannya ke pihak-pihak terkait.

Tetapi, saat menjelang dan setelah Subuh tentu tidak mudah untuk mendapatkan konfirmasi. Mungkin narasumber juga masih terlelap. Kalau pun tidak, juga belum tentu mau mengangkat telponnya hanya sekedar untuk diwawancarai. Namun, karakter media online berbeda dengan media cetak. Berita konfirmasi bisa disusulkan, dan ditautkan dengan berita sebelumnya. Sehingga tidak terpisahkan.

Begitulah kira-kira alur kerja redaktur kami. Dan seperti itu pula yang kami jelaskan kepada Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan dalam sebuah pertemuan. Setelah berita itu menjadi viral. Setelah berita itu menimbulkan  kegaduhan politik.

Memang kami sempat panik ketika artikel Berthelsen itu tiba-tiba menghilang dari laman Asia Sentinel. Gara-gara ini kami sempat dituding sentiment dengan Pak SBY.  Gara-gara ini pula, kami dicap penyebar kebohongan, penyebar hoax. Malam itu pula, kami mendengar akan dilaporkan ke Dewan Pers.

Kekhawatiran kami akhirnya sirna. Tengah malam, artikel itu muncul lagi. Sebelum kami dilaporkan. Kami sudah bisa mengakses kembali naskah aslinya. Asia Sentinel menerbitkan kembali artikelnya. Gentlemen!

Kami mendapatkan pelajaran penting dari pengalaman ini. Terutama dalam menjalankan profesi jurnalistik. Pekerjaan yang pernah menjadi eksklusif. Tetapi kini ikut tergerus zaman. Kini semua orang bisa menulis. Meski bisa menulis bukan berarti menjadi jurnalis. Tetapi perkembangan teknologi seakan telah mengaburkan antara penulis dan pekerjaan jurnalis.

Meski sebenarnya tidak sulit membedakan antara keduanya. Penulis media sosial tentu tidak bisa disebut sebagai jurnalis. Seorang jurnalis, dibatasi oleh norma dan etika jurnalistik. Bekerja di media konvensional yang jelas kedudukannya, perusahaannya, maupun penanggung jawabnya. Setiap sengketa pemberitaan diselesaikan di dewan pers. Sementara media sosial, blog dan sebagainya diselesaikan di kepolisian.

Mengambil atau menerjemahkan artikel dari sesama media online pun rupanya juga harus berhati-hati. Apalagi untuk isu-isu yang sensitif. Bagaimana jadinya kalau media yang dijadikan narasumber itu ternyata tiba-tiba mencabut beritanya? Seperti yang dilakukan oleh Asia Sentinel. Meski hanya beberapa saat, dan kemudian dimunculkan kembali? Dan kemudian dicabut lagi. Dan kemudian meminta maaf. Karena ternyata sang penulis  tidak melakukan konfirmasi.

Dalam pedoman media siber yang diterbitkan oleh dewan pers sebenarnya sudah jelas disebutkan, bahwa media siber wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut. Kami pun telah mencabut berita tersebut, seperti yang diperintahkan dalam pedoman media siber. Tentu kami juga meminta maaf kepada Pak SBY berikut Partai Demokrat atas kelalaian kami. Betul, ketika media sudah mencabut beritanya mengikuti media asal yang dikutipnya persoalan akan selesai. Tetapi bagaimana dengan narasumber atau orang yang diberitakan? Yang sudah terlanjur viral di media sosial, yang tentu tidak mudah untuk mencabutnya karena keterbatasan akses dengan penanggung jawabnya?

Ini pula yang membuat Pak SBY gundah, kecewa dan marah.  Tentu kami bisa mengerti akan kegundahan Pak SBY. Kami bisa memaklumi kemarahan Pak SBY. Apalagi di era milenial ini. Dimana era media sosial lebih dipercaya dan lebih dimengerti. 

Tetapi kami angkat topi kepada Pak SBY maupun pendukungnya yang tetap mengedepankan kesantunan dalam menyelesaikan persoalan dengan media. Melalui dewan pers dan pendekatan yang lebih kekeluargaan. Bersedia mendengar dan mengerti akan penjelasan kami. Ini bukan saja pengalaman. Tetapi juga pembelajaran. Terima kasih Pak SBY….!

Auri Jaya 

email : auri@jpnn.com

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istana di Belakang Asia Sentinel? Fahri: Ini Gara-Gara KPK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler