jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah didesak untuk segera mengeluarkan payung hukum terkait upaya membenahi jalur distribusi kapas impor yang masuk ke Indonesia sebagai bagian dari pengadaan kapas nasional.
Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), payung hukum ini penting mengingat Indonesia merupakan negara importir kapas terbesar keempat dunia setelah China, India dan Vietnam. Jumlah kapas impor ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
BACA JUGA: Mau Performa Bisnis Semakin Maksimal Ikuti Datascrip Solution Days Ini
"Dari 335.000 ton pada 2005, kini telah mencapai 674.000 ton pada 2013. Meski demikian, demand dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri yang tinggi ini tidak dibarengi dengan pengadaan bahan baku kapas berkualitas namun tetap terjangkau," ujar Ernovian G Ismy, Sekjen API, kepada wartawan, Rabu (20/5).
Dijelaskan, industri tekstil di Indonesia membutuhkan kapas sekitar 600.000 hingga 700.000 ton setiap tahunnya. Ini artinya, porsi jumlah kapas impor mencapai 570.000 hingga 665.000 ton. Sedangkan produksi kapas nasional baru 33.000 ton ton per tahun. Namun tidak semuanya diserap pasar lokal karena Indonesia juga mengekspor kapas ke luar negeri.
BACA JUGA: Bisnis Salon Tumbuh 15 Persen
Di sisi lain, selama ini pola pengadaan impor kapas di Indonesia masih didominasi impor langsung shipper dari luar negeri sekitar 60 persen, lalu 30 persen dari gudang di Malaysia dan sisanya, 10 persen, retailer yang melakukan impor untuk dijual lagi. Secara nilai, impor kapas Indonesia ini diprediksi sekitar US$ 2 miliar.
Menurut Ernovian, gara-gara impor kapas lewat perantara, pelaku industri TPT harus membeli kapas dari para broker dengan harga tinggi. Padahal sekitar 95% kebutuhan kapas untuk industri tekstil tergantung impor.
BACA JUGA: Menteri ESDM Tak Mau Petral Dibahas Terus
"Panjangnya rantai impor kapas ini membuat harga bahan baku tekstil ini menjadi tinggi ketika sampai end user. Hingga saat ini, kita belum bisa melepaskan diri dari pembelian lewat perantara sehingga harganya jadi lebih tinggi karena mereka juga pasti ingin dapat untung," katanya.
“Karena itu, perlu dilakukan efisiensi pengadaan kapas dari negara pengimpor langsung ke gudang di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Inov, panggilan akrabnya, ada usulan dari pelaku industri TPT Tanah Air untuk memindahkan kapas dari gudang di Malaysia ke gudang di Indonesia. Tujuannya guna menekan biaya logistik, terutama biaya transportasi, gudang dan inventori, yang selama ini belum terintegrasi antara pelabuhan, logistik dan kawasan industri yang menyebabkan adanya jarak dan ketidakpastian.
Dia katakan, diperlukan terobosan kebijakan untuk meningkatkan daya saing produk industri TPT nasional, khususnya benang. “Ide terobosan memindahkan gudang kapas dari Malaysia ini sudah bergulir sejak dua tahun lalu dan memang butuh waktu untuk menyakinkan dan berkoordinasi semua pihak terkait,” ujarnya.
Pihak terkait yang dimaksud Inov ini di antaranya pemerintah yakni Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan (Bea Cukai dan Pajak), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan. Sedangkan dari pihak pelaku yakni perusahaan spinner nasional anggota API dan yang tergabung di Indonesia Cotton Spinners Committee (ICSC), sebagai konsumen. Lalu ada pemilik kapas sebagai shippers serta Cikarang Dry Port (CDP) sebagai pilot project lokasi untuk cotton warehouse.
“Meski butuh waktu, pemindahan ini harus secepatnya dilakukan karena ada potensi negara Asean lainnya seperti Vietnam, Philipina yang berpotensi menjadi gudang pengumpul untuk kapas tersebut,” ujar Inov mengingatkan.
Banyak keuntungan yang akan diperoleh pelaku industri TPT jika pengadaan kapas dari negara pengimpor langsung ke gudang di Indonesia. Inov menyebut adanya kepastian bagi industri spinning nasional dalam mendapatkan bahan baku kapas dengan kualitas dan standar yang terjamin.
Kemudian, untuk memelihara dan mengamankan serta kontinuitas supply chains di industri TPT nasional. “Ini akan meningkatkan daya saing produk TPT beserta industri turunannya. Pasalnya, bahan baku kapas yang diperoleh industri hulunya ada di dalam negeri sehingga proses produksi di industri hilir dalam negeri lebih efisiensi dalam harga maupun waktu,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, kata Inov Industri Kecil Menengah (IKM) TPT nasional yang orientasi pasarnya 100% domestik, dapat membeli langsung kapas di cotton warehouse dalam kapasitas kecil.
“Dengan adanya stok kapas di dalam negeri, industri spinning nasional dapat meminimalisir kerugian nilai tukar mata uang, dapat mengurangi risiko fluktuasi harga komoditi kapas, dan juga akan lebih meringankan modal kerjanya,” ujarnya.
Terpisah, Managing Director PT Cikarang Inland Port Benny Woenardi menegaskan bahwa pihaknya yang telah mengelola pelabuhan daratan (Cikarang Dry Port/CDP) di wilayah Timur Jakarta, telah bersiap diri menyambut usulan API ini.
“Kami siap mendukung usulan API. Bahkan, lahan untuk membangun gudang seluas 34.000 meter persegi telah kami siapkan. Untuk tahap awal akan dibangun gudang seluas 17.000 meter persegi,” ujarnya.
Benny mengatakan, kesiapan CDP ini juga didukung dengan tarif pengelolaan gudang yang kompetitif sehingga tidak akan memberatkan para pelaku industri TPT nasional. Bahkan, jika dibandingkan dengan tarif di Port Klang dan Tanjung Priok, CDP terhitung sangat terjangkau.
Ditegaskan, dengan adanya pusat distribusi kapas yang ada di dalam negeri, akan mampu menekan biaya logistik (biaya gudang, transportasi, dan inventori), faster lead time, semakin dekat dengan pembeli serta ada kepastian pasokan bahan baku. “Semua ini ujung-ujungnya akan meningkatkan daya saing industri TPT nasional,” pungkasnya. (rl/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Telkom Terbitkan Pinjaman Berkelanjutan Rp 7 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi