DAMASKUS - Tekanan dunia dan upaya mengisolasi Syria tak mampu meluluhkan dan membuat gentar Presiden Bashar al-Assad. Janji penguasa 46 tahun itu kemarin (8/2) untuk mengakhiri kekerasan terhadap oposisi dan warga sipil ternyata hanya isapan jempol. Hanya selang beberapa jam setelah janji tersebut dilontarkan, tentara pemerintah kembali mengamuk di Kota Homs, barat Syria.
Kawasan Baba Amr yang menjadi lokasi berkumpulnya para bekas tentara pemerintah kembali menjadi sasaran mortir dan peluru para serdadu Assad. Serangan hari ke-5 di kota industri Syria yang terletak di dekat Damaskus (sekitar 162 kilometer utara ibu kota) itu menghancurkan sedikitnya 23 bangunan bertingkat.
"Sejauh ini, 50 orang tewas. Termasuk, tiga keluarga yang seluruh anggotanya tewas di tangan milisi Shabiha (pro-Assad)," kata Rami Abdel Rahman, direktur Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).
Lembaga HAM yang beroposisi itu mengatakan bahwa dalam serangan kali ini, rezim Assad melibatkan banyak milisi bersenjata Shabiha. Padahal, kata Rahman, milisi Shabiha jauh lebih brutal daripada pasukan Assad. Mereka tak segan membunuh warga sipil di dalam rumah mereka. Bahkan, seperti yang terjadi kemarin, mereka menumpas tiga keluarga sekaligus.
Rahman memperkirakan jumlah korban tewas akan terus bertambah. Sebab, reruntuhan sekitar 23 gedung bertingkat yang menimbun sejumlah warga masih belum bisa digali. "Proses evakuasi sedang berjalan dan banyak warga yang masih terjebak di balik reruntuhan," tuturnya. Karena aliran listrik dan telepon terputus, Rahman khawatir proses evakuasi terhambat.
Omar Shaker, salah seorang warga Homs yang luput dari maut, menyatakan sangat ketakutan. Serangan lima hari berturut-turut itu membuat ciut nyali warga kota di utara ibu kota tersebut. "Sejak dini hari tadi (kemarin) desing peluru dan tembakan mortir serta roket tak henti terdengar. Seluruh infrastruktur kota hancur. Termasuk gardu listrik dan tandon air," keluhnya.
Situasi Homs, lanjut Shaker, sangat mengkhawatirkan. Selain harus bertahan dalam kegelapan, warga pun terpaksa menghemat makanan. Stok pangan semakin menipis dan mereka terisolasi dari dunia luar. "Telepon mati. Stok air bersih dan pangan mulai habis. Begitu juga dengan obat-obatan," katanya. Akibatnya, warga yang terluka pun tidak bisa secepatnya mendapat pertolongan.
Tindakan brutal rezim Assad membuat banyak warga memilih untuk meninggalkan Syria. Salah satunya adalah Younes al-Yousef yang melarikan diri ke Mesir. "Dulu, saya pendukung setia rezim Assad dan banyak mendapat keuntungan dari mereka. Tapi, kini saya sangat menantikan kejatuhan mereka," katanya dari apartemen yang dia sewa di pinggiran Kota Kairo.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyebut kunjungannya ke Syria sebagai lawatan sukses. Kemarin politikus 61 tahun itu kembali ke Kota Moskow dan langsung mengimbau seluruh negara Barat untuk tak mencampuri kebijakan pemerintah Syria dalam mengatasi krisis. "Menurut saya, tindakan (Barat) menarik dubes tak akan membuat situasi lebih baik," ujarnya.
Sekali lagi, Lavrov membeberkan prinsip Rusia untuk tidak menjatuhkan sanksi pada Syria. Dia tak menggubris pula imbauan negara-negara Barat supaya memanfaatkan lawatannya untuk membujuk Assad mundur. Moskow lebih memilih untuk mempercayakan jalan keluar konflik pada pemerintahan Assad. "Hanya pemerintah dan rakyat Syria yang berhak menentukan nasib mereka," katanya.
Namun, AS terus meningkatkan tekanannya pada Syria. Setelah menarik Duta Besar (Dubes) Robert Ford dan menutup Kedubesnya di Damaskus, pemerintahan Presiden Barack Obama mencari alternatif lainnya. "Bersama para sekutu, kami berusaha meningkatkan tekanan atas rezim (Assad) dan mengisolasinya dari dunia internasional," tegas Jay Carney, jubir Gedung Putih.
Sebelumnya, Obama menegaskan bahwa AS tidak akan menempuh jalur militer untuk menyelesaikan krisis Syria. Bahkan, Washington berjanji untuk tidak mempersenjatai oposisi yang berjuang melawan rezim Assad. Karena itu, tutur Carney, AS akan memaksimalkan upaya dialog dan diplomasi guna menekan Assad. Bila perlu, AS juga akan meningkatkan sanksi atas Syria.
Terpisah, situasi yang terus memburuk di Syria memicu keprihatinan Komisioner Tinggi HAM PBB Navi Pillay. Dia mengimbau supaya masyarakat internasional bertindak cepat. Dia berharap negara-negara anggota PBB bisa ikut memberikan perlindungan kepada warga sipil di Syria, baik lewat diplomasi ataupun kemanusiaan. "Kegagalan DK PBB menggalang aksi nyata justru membuat pemerintah Syria kian brutal membantai warga sipil," tuturnya.
Krisis politik yang pecah di Syria sejak Maret lalu itu telah merenggut sedikitnya 6.000 korban jiwa. Itu belum termasuk korban luka dan kerugian fisik akibat kekejian tentara Assad. "Karena pelanggaran HAM masih terus terjadi, saya khawatir situasi kemanusiaan di negeri itu akan terus memburuk. Terutama, di Homs yang sebagian besar wilayahnya kini terisolasi," papar Pillay. (AFP/AP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 60 Tahun Ratu Elizabeth II Bertakhta
Redaktur : Tim Redaksi