Atasi Dampak Pandemi, Demokrat: Lepaskan Ego Sektoral, Berani Bertindak!

Senin, 27 Juli 2020 – 21:35 WIB
Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra (kanan atas) dalam diskusi bertajuk “Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal” pada Minggu (26/7/2020). Foto: Tangkapan kamera

jpnn.com, JAKARTA - Pemulihan ekonomi maupun penanganan pandemi akan berhasil jika tiap instansi terkait melepaskan diri dari ego sektoral, saling berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik sebagai satu kesatuan.

Penyerapan anggaran yang masih sangat rendah, seperti stimulus fiskal untuk insentif kesehatan baru terealisasi 7,22 persen setelah empat bulan diputuskan Presiden, menunjukkan para pejabat terkait masih berpola pikir business as usual. Padahal, situasi sudah krisis saat ini.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Kader PDIP Pindah Demokrat, Gibran Angkat Suara, Adian Menasihati Jokowi

Penderita Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 97 ribu per tanggal 25 Juli ini. Padahal, di awal Juni baru menyentuh angka 26 ribu. Dalam dua bulan, peningkatannya hampir empat kali lipat. Perlu ketegasan dan keberanian presiden mengevaluasi kinerja para pembantunya.

Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra dalam diskusi publik Proklamasi Democracy Forum bertajuk “Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal” pada Minggu (26/7/2020) malam.

BACA JUGA: Bersama PARFI-56, Bamsoet Menggagas Film Pendek Empat Pilar MPR RI

Dalam diskusi daring yang diselenggarakan Badan Penelitan dan Pengembangan DPP Partai Demokrat ini, Herzaky menambahkan peningkatan jumlah kasus secara drastis dan melonjaknya kasus harian secara konsisten dalam dua bulan terakhir, menjadi makin menakutkan jika melihat jumlah tes per satu juta populasi di Indonesia, yang baru di angka 4,973 orang, per 25 Juli 2020. Terkecil dari 24 negara terbanyak penderita covid-19.

Belum lagi mencermati indikator ekonomi. Pertumbuhan kuartal I drop di angka 2,97 persen, terendah sejak 2001. Sedangkan di kuartal II, diprediksi terkontraksi semakin dalam, sehingga menyentuh angka minus 5,08. Ancaman resesi pun semakin nyata.

BACA JUGA: Kapal Bakamla RI Tangkap Kapal Ikan Vietnam di Laut Natuna Utara

Presiden, menurut Herzaky, harus berani mengambil langkah tegas, mengganti anggota kabinet jika memang kinerjanya masih tidak sesuai dengan harapan. Saatnya mengedepankan kepentingan rakyat banyak, dan menepikan konsesi politik sesaat untuk jasa pendukungnya di masa lalu. Karena nyawa rakyat, dan nasib bangsa ini yang menjadi taruhannya.

Pendapat Herzaky ini diamini oleh Tomi Satryatomo, Pengamat Media, yang memaparkan hasil monitoring percakapan di media sosial dan pemberitaan di media online selama pandemi covid-19.

Di masa krisis, menurut Tomi, pemerintah yang mengontrol penuh narasi. Jadi, tergantung kepada pemerintah, apakah ingin membuat masyarakat paham atau tidak, dengan narasi yang dikembangkan pemerintah.

“Ketegasan kepemimpinan sangatlah diperlukan dalam situasi krisis. Saat pemerintah tampak ragu dan gagap, di sinilah peluang berkembangnya hoaks dan rumor, mengisi ruang kosong komunikasi yang lemah dari pemerintah,” kata Tomi.

Sedangkan Teguh Santosa, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia, menjelaskan pemerintah sejak awal mengajak untuk berpikir kalau pandemi ini adalah isu ekonomi.

Di saat Wuhan ditutup, misalnya, di saat negara-negara Asia Timur menutup diri dari pihak luar di Januari 2020, Indonesia malah berpikir memberikan insentif untuk dunia pariwisata kita. Indonesia malah berusaha menarik wisatawan yang tidak bisa berlibur ke Asia Timur, untuk datang ke Indonesia.

Saat mengeluarkan Perppu terkait pandemi covid-19, lanjut Teguh, isinya kebanyakan kebijakan tentang ekonomi, bukan kesehatan. Pola pikir pemerintah seperti ini tentu saja mempengaruhi pola pikir masyarakat kita.

Dr Dian K Nurputra, Ketua Satgas Covid-19 RS Bhayangkara DIY, menjelaskan Indonesia sesungguhnya belum memenuhi persyaratan untuk memasuki dan menerapkan new normal atau adaptasi kehidupan baru. Berdasarkan WHO, ada beberapa syarat untuk kita masuk ke new normal. Sebenarnya itu semua kita (Indonesia) belum penuhi.

Dengan berbagai macam pemberitaan dan cara komunikasi yang keliru, menurut Dr Dian, dan ketidakpahaman arti new normal sehingga dibaca normal, ya akhirnya jadi ambyar. Peningkatan jumlah kasus pun terjadi secara drastis.

Isolasi lokal seperti yang dilakukan kota Tegal, lanjut Dr Dian, bisa menjadi solusi. Dengan demikian, kasus impor bisa dicegah dan terlokalisir.

Menurut Dian, masyarakat pun harus memahami dan mau ribet. Jaga jarak tanpa mengenakan masker, tidak ada artinya. Attention to detail seperti ini sangat perlu untuk mencegah wabah berkembang pesat.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler