JAKARTA - Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terus menuai protes. Setelah sejumlah partai gurem menggugat, kini giliran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Perkumpulan untuk Masyarakat dan Demokrasi (Perludem) bersama Soegeng Sarjadi Syndicate menggugat Pasal 208 UU tersebut.
Kuasa Hukum Pemohon Veri Junaidi mengungkapkan, pasal yang mengatur ambang batas secara nasional itu dinilai bertentangan dengan tiga pasal di dalam UUD 1945, yaitu pasal 1 ayat 2 UUD 45 tentang keadilan, pasal 22 e ayat 2 tentang mekanisme pemilihan secara berjenjang dan pasal 28 d ayat tentang tidak ada boleh diskriminasi dalam pembuatan UU.
’’Apalagi, ini juga diberlakukan ke daerah terkait perolehan kursi, sangatlah bertentangan dengan UUD 1945, terutama mekanisme pemilihan berjenjang sebagaimana dalam pasal 22e ayat 2 UUD 1945,’’ ujar Veri Junaidi usai menyerahkan permohonan uji materi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (25/5).
Veri selaku kuasa hukum pemohon mengatakan, apabila pasal ini dijalankan bisa berakibat suara pemilih di kabupaten atau kota dan provinsi tidak terwakili. ’’Begitu suara ditetapkan secara nasional, yang terjadi adalah pilihan pemilih di luar partai-partai besar tidak akan berlaku meskipun pilihan itu adalah pilihan paling besar dengan memperoleh suara terbanyak. Nantinya hal itu akan diabaikan serta suara tersebut akan menjadi sia-sia atau hangus,’’ jelasnya.
Padahal, kata Veri, pihak yang dirugikan dengan adanya ambang batas parlemen yang diterapkan secara nasional bukan hanya partai politik. Melainkan juga masyarakat pemilih yang akan menjatuhkan pilihan. ’’Jadi, dengan pemberlakuan ambang batas tersebut, kedaulatan rakyat akan diabaikan begitu saja,’’ tandas Veri.
Dalam gugatan itu, lanjut Veri, pihaknya telah menyiapkan beberapa bukti untuk menguatkan permohonan tersebut. Di antarnaya, UUD 1945, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Pemohon, Identitas pribadi masing-masing Pemohon, buku kajian tentang ambang batas parlemen, serta UU yang dimaksud.
Pengamat politik Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pemberlakuan Parliamentary Threshold (PT) sebesar 3,5 secara nasional dapat mengebiri demokrasi, karena belum tentu partai politik yang lolos secara nasional memiliki kekuatan di daerah.
’’Contohnya, seperti terjadi di Nunukan, Kalimantan Timur. Di sana malah Partai Bulan Bintang (PBB) yang dominan, tapi di tingkat nasional tidak lolos. Karena itu, jika PT tetap diberlakukan secara nasional, maka dipastikan akan banyak lagi parpol yang dirugikan sistem tersebut,’’ jelasnya.
Karena itu, ia sependapat dengan para pemohon, pemberlakuan PT tidak semestinya diterapkan dengan skala nasional, melainkan secara berjenjang. ’’Jika kita mau lebih objektif melihat kekuatan politik setiap parpol, ya semestinya berjenjang saja,’’ katanya. (ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasihat untuk SBY dari Buyung Dianggap Mubazir
Redaktur : Tim Redaksi