jpnn.com, TAIWAN - Kursi menteri itu berawal dari demonstrasi. Audrey Tang bersama para demonstran menduduki parlemen Taiwan dalam gerakan yang dikenal sebagai Sunflower Students Movement pada 2014.
Gerakan yang dimotori mahasiswa dan kelompok-kelompok hak sipil itu memprotes disahkannya Cross-Strait Trade Agreement oleh Kuomintang, partai berkuasa di Taiwan. Tanpa penjelasan mendetail tentang klausa demi klausa di dalamnya.
BACA JUGA: Taiwan Ukir Rekor Mengesankan di Menembak Asian Games 2018
Buntut dari gerakan pada 2016 itu, pemerintah Taiwan malah menawari Audrey, mantan penasihat Apple, menjadi menteri digital. Itu semacam menteri muda dalam kabinet di era Orde Baru. Menteri tanpa kementerian.
Dan, itu memang sesuai keinginan Audrey yang pernah lama berkiprah di Silicon Valley, pusat industri tenologi Amerika Serikat. Dia mau jadi menteri tapi dengan syarat: semua yang bekerja dengannya bukan bawahaan.
BACA JUGA: Ini Susunan Pemain Indonesia v Taiwan
"Saya tidak mau memberi atau menerima perintah. Semuanya adalah kolega yang bekerja secara sukarela dengan saya," ujarnya dalam wawancara dengan Reuters.
Maklum, sejak pensiun dari Silicon Valley, Audrey menyebut dirinya sebagai anarkis. Anti-otoritas.
BACA JUGA: Lelaki Tak Bisa Dipercaya, India Berpaling ke Transgender
Sebagai menteri digital, dia pun menganut prinsip serbatransparan. Bahkan, cenderung radikal. Setiap keputusan, kesepakatan, dan negosiasi dibagi dalam situs yang terbuka untuk umum.
Di bawah naungannya ada 430 ribu perusahaan start-up yang berambisi menjadi raksasa seperti Samsung atau Xiaomi. Kepada mereka, perempuan berusia 36 tahun itu memberikan solusi. Kewirausahaan sosial.
Audrey tahu bahwa mencari keuntungan moneter saja tak akan membuat semua pihak puas. Selain keuntungan uang, perusahaan harus memberikan manfaat kepada masyarakat dan negara. "Tanpa tujuan bersama, kita hanya akan sibuk melobi untuk satu kepentingan tanpa ada upaya menggabungkannya," ungkapnya.
Langkah pertamanya direalisasikan dalam perusahaan Agoood. Perusahaan itu menggunakan sketsa dari penderita down syndrome untuk merancang brosur. Sejak itu, dia terus mendorong perusahaan untuk memasukkan aspek sosial.
Dengan demikian, nanti mereka bisa menutupi kekurangan pemerintah dari berbagai aspek. Tak hanya mengeluhkan layanan dan bantuan yang jelek karena kurangnya dana. "Orang-orang yang dulunya menuntut pemerintah kini mulai mencoba untuk memperbaiki pelayanan publik. Dan mereka ternyata jauh lebih baik."
Prinsip Audrey memang kuat. Sering tidak konvensional. Soal itu, dia mengaku harus berterima kasih pada apa yang disebut sebagai masa puber keduanya.
Umur 24 tahun, Autrijus Tang yang terlahir sebagai lelaki mengalami pergulatan batin terbesar. Dia harus memutuskan apakah tetap dalam raga pria atau memilih berganti kelamin.
Tahun itu juga tekadnya bulat. Seusai terapi hormon dan operasi kelamin, Audrey menjadi nama barunya sebagai perempuan. Tahapan hidup itu juga menjadi simbol perubahan pola pikirnya
Dia akhirnya mengaku bisa meresapi arti galau dan rapuh. Dasar yang saat ini digunakan untuk berpolitik maupun menjalani hidup. "Baik pengalaman organisasi maupun konflik batin yang saya alami, semuanya sangat berguna bagi saya," ungkapnya.
Itu pun tecermin dalam hobinya dalam beberapa tahun terakhir. Yakni, Troll Hugging. Dalam waktu luang, dia akan melihat komentar pedas oleh netizen tentang dirinya. Lalu, dia akan mencoba berteman dengan mereka.
"Saya biasanya undang mereka ke Social Innovation Lab. Dan memberi mereka pelukan," ungkapnya. (bil/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kaligrafi TKW
Redaktur & Reporter : Adil