Tiga tahun lalu Shravan Nagesh pindah ke Australia untuk kesempatan dan kehidupan lebih baik.

Namun sekarang pilot pesawat komersial berusia 30 tahun tersebut memilih pulang ke India.

BACA JUGA: Menlu Amerika Serikat Ungkap Keprihatinan soal KUHP Indonesia

"Saya sudah bekerja sebagai pilot selama tiga tahun. Ini karier yang bagus," katanya kepada ABC.

"Rencana jangka panjang saya adalah bisa bekerja di maskapai penerbangan. Namun lowongan kerjanya tidak cukup untuk semua orang di sini.

BACA JUGA: Redam Pengaruh Tiongkok di Pasifik, Australia Umumkan Alokasi 3.000 Visa Baru per Tahun

"Saya merasa lebih baik bila saya mencari kesempatan di luar negeri daripada di sini." Persaingan global mencari pekerja

Australia sedang berusaha menarik pekerja terampil dari berbagai negara, seperti India, untuk mengatasi kurangnya pekerja.

BACA JUGA: Kemnaker akan Siapkan Tenaga Kerja dengan Kompetensi yang Dibutuhkan di Daerah Ini

Namun banyak dari mereka yang datang ke Australia akhirnya kecewa karena impian mereka tidak terwujud.

Beberapa migran mengatakan kepada ABC bahwa rasisme, tidak bisa menemukan pekerjaan yang mereka inginkan, dan kebijakan visa yang sulit untuk orangtua mereka telah menjadi beberapa alasan untuk meninggalkan Australia.

Dan pakar seperti Fethi Mansouri bisa memahami hal tersebut.

Direktur Institute for Citizenship and Globalisation di Alfred Deakin ini mengatakan Australia tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam soal penerimaan migran.

"Sebagai perbandingan, dalam jangka waktu yang sama pada tahun 2021, Australia menerima 145 ribu migran baru. Jerman menerima 1,3 juta migran baru, dan Inggris menerima 600 ribu migran baru," katanya.

"Dengan fokus migran India yang merupakan salah satu sumber utama bagi Australia, Kanada berhasil menarik 100 ribu warga India lebih banyak.

"Alasannya bukan sekadar pandemi saja karena hal tersebut juga berdampak bagi negara lain." 

Data terbaru dari Biro Statistik Australia (ABS) menunjukkan angka kedatangan migran dari India sudah meningkat lagi sejak pandemi namun angkanya masih separuh dari angka yang sama tiga tahun lalu.

Dibandingkan bulan Juni 2019, lebih sedikit warga India yang tiba sampai akhir tahun 2022, sementara yang meninggalkan Australia pun banyak.

Pada bulan September, pemerintah Australia menaikkan angka penerimaan migran sebanyak 35 ribu lagi untuk tahun 2022/2023.

Berbicara dalam pertemuan yang membahas tenaga kerja selama dua hari di Canberra, Menteri Dalam Negeri Clare O'Neil mengatakan penerimaan migran permanen baru untuk tahun keuangan yang kini berjalan adalah 195 ribu orang.

Professor Mansouri mengatakan target peningkatan penerimaan migran baru sebanyak 20 persen tersebut bukanlah hal yang "mudah" kecuali lebih banyak hal dilakukan untuk membantu para migran ketika sudah tiba di sini.

"Setelah pandemi, usaha kita menarik migran baru tidaklah sebaik negara-negara lain," katanya.

"Saya kira sebagian masalahnya adalah karena kita tidak menyederhanakan proses secepat yang harusnya dilakukan."

"Juga ada anggapan bahwa ketika migran tiba di Australia mereka bisa memiliki kebebasan untuk mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan."

Professor Mansouri mengatakan kegagalan untuk menarik pekerja terampil bisa memengaruhi masa depan Australia.

"Nanti saat tiba waktunya kita menghadapi penduduk yang semakin menua, sementara program migrasi dan sistem kita tidak bisa menyesuaikan diri, maka kemakmuran ekonomi dan sosial kita akan menghadapi banyak tekanan," katanya.

"Dan kita akan melihat standar hidup menurun dan produktivitas yang berkurang.  Dan ini bukan situasi yang baik bagi semua orang."

Menteri O'Neil mengatakan, untuk membentuk program migrasi bagi masa depan, Australia perlu melakukan "perubahan besar".

"Perubahan tersebut adalah berpindah dari sistem yang sebelumnya berfokus mencegah orang datang, ke arah mengakui bahwa kita bersaing secara global untuk mendapatkan pekerja yang bertalenta," katanya.

"Karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kita, Australia tidak lagi menjadi pilihan bagi banyak pekerja terampil dunia.

"Mereka yang pintar-pintar berusaha untuk tinggal di negera seperti Kanada, Jerman, dan Inggris. Negara-negara tersebut menggelar karpet merah untuk mereka."

Bagi Shravan Nagesh, paling tidak, apa yang dilakukan pemerintah Australia ini seperti sudah terlambat.

Halangan baginya untuk menjadi penduduk tetap Australia sudah muncul jauh sebelum dia menjadi pilot.

Pada 2019, Shravan pindah ke Australia untuk melanjutkan kariernya sebagai insinyur.

Namun, walau sudah bekerja selama empat tahun di perusahaan besar dunia di India, dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Australia.

"Hampir semua pekerjaan yang saya lamar mendapatkan jawaban standar dari mereka," katanya,

"Mereka mengatakan bahwa saya tidak memiliki pengalaman lokal atau saya tidak memiliki kualifikasi lokal."

Shravan bahkan mengubah namanya menjadi "Sandy", sehingga dia pernah beberapa kali diwawancarai namun tetap tidak berhasil mendapatkan pekerjaan.

Setelah mencari pekerjaan selama setahun, dia memutuskan berpindah profesi dan menjadi pilot, tapi pandemi COVID kemudian melumpuhkan industri penerbangan.

Cerita seperti ini menurut Professor Mansouri sudah sering didengarnya.

"Banyak para migran ini merasa bahwa keterampilan dan kualifikasi mereka tidak diakui dengan baik dalam sistem di sini," kata Professor Mansouri .

"Dan karenanya, lamaran ke pekerjaan yang ingin mereka lakukan di Australia tidak terjadi secara mulus atau cepat." 

Masalah lain juga adalah pengasuhan anak-anak atau upaya mendatangkan orangtua dari negeri asal.

"Dalam banyak budaya di seluruh dunia, keluarga bukanlah sekadar dua orangtua dan anak-anak saja," kata Professor Mansouri.

"Salah satu pertimbangan utama bagi migran adalah kemungkinan mereka bisa membawa orangtuanya."Bisa berkumpul dengan orangtua juga jadi salah satu faktor

Shweta dan Naimish Dobariya tiba di Australia tahun 2015.

Shweta adalah seorang analis  bisnis dan mendapatkan visa permanen dengan sponsor dari negara bagian.

Keluarganya juga berencana untuk pulang ke India.

"Suami saya adalah anak laki satu-satunya," katanya.

"Dia ingin mengurus  kedua orangtuanya dan saya juga setuju.

Ibu dari satu anak tersebut mengatakan mereka sudah mempertimbangkan untuk mendatangkan kedua orangtua suaminya ke Australia.

Namun prosesnya terlalu panjang atau terlalu mahal buat mereka.

"Visa agar orangtua pindah menetap menurut saya adalah visa yang paling mahal di Australia saat ini," kata Shweta.

"Perlu sedikitnya Rp1 miilar untuk membawa mereka tinggal di sini."

Menurut Departemen Dalam Negeri Australia, permohonan visa untuk mendatangkan orangtua saat ini memerlukan waktu setidaknya 29 tahun untuk diproses.

Bagi keluarga Dobariya, memulai hidup baru bahkan kembali ke negara asal bukanlah hal yang mudah.

"Kembali lagi ke India, saya rasa, adalah salah satu keputusan terbesar yang harus kami ambil," kata Shweta.

"Tetapi kami tidak memilih alternatif yang lain sekarang ini karena kami tidak mau berpisah dengan keluarga besar."Prospek lebih baik di luar negeri

Karena kesulitan mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya di Australia, Shravan Nagesh harus membuat keputusan sulit, termasuk meninggalkan negeri yang sudah mulai dicintainya.

"Pada awalnya ada perubahan karena kami berasal dari India," katanya.

"Gaya hidup dan budayanya berbeda.

"Sebelum pindah ke Australia saya tidak tahu apa itu olahraga rugby. Namun sekarang, sejujurnya saya lebih suka rugby dari kriket."

Sekarang dia harus memulai hidup baru lagi, kali ini kembali ke India untuk bekerja sebagai pilot.

"Ini keputusan yang sulit, setelah kami kerasan dan bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini," kata Shravan.

"Saya sudah memiliki banyak teman dan memiliki jejaring sosial yang banyak.

"Namun melihat kesempatan, prospek karir, dan potensi ke depan, saya kira lebih baik saya ke luar negeri dan keluar dari zona nyaman saya."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kunjungi Workshop Alat Berat di BPVP Kendari, Menaker Ida Fauziyah Sampaikan Hal Ini

Berita Terkait