Awalnya Dicibir, Bidan kok Berlagak Jadi Insinyur

Selasa, 07 Mei 2013 – 12:41 WIB
TELADAN : Bidan Listiyani Ritawati setelah talk show memperingati hari bidan sedunia 2013. Foto: Hilmi Setiawan/Jawa Pos/JPNN
Banyak bidan berdedikasi tinggi di Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Listiyani Ritawati, bidan desa yang sekaligus pelopor pembuatan sumur bor di Gunungkidul, Jogjakarta.
 
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
=====================
=
 
AWALNYA, Listiyani cukup casciscus menceritakan perjalanan hidupnya sebagai bidan di kawasan tandus, Gunungkidul. Tetapi, ketika ditanya alasannya menjadi bidan, bendungan air matanya jebol.

"Saya jadi bidan karena amanah orang tua. Jangan lagi kasus kesulitan persalinan mengancam masyarakat," katanya setelah menjadi narasumber dalam talk show menyambut Hari Bidan Internasional yang diprakarsai Jhpiego di @america, Pacific Place Mall, Jakarta, Jumat (3/5).
 
Bidan Lis, begitu dia akrab disapa, merupakan PNS (pegawai negeri sipil) di Puskesmas Ngawen II, Gunungkidul. Alumnus D-3 Poltekes Surakarta itu menginjakkan kaki di Gunungkidul pada 2000. Dia mengawali karir dengan menjadi bidan praktik swasta (BPS) di Desa Sambirejo, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul.
 
Dia ditakdirkan hidup di daerah yang didominasi pegunungan karst (kapur) yang sering mengalami kekeringan itu, sehingga masyarakat kesulitan air bersih. "Tapi, ini tantangan yang harus saya hadapi," ujar Lis.
 
Perempuan kelahiran Banjarnegara, 29 Juni 1974, tersebut mengungkapkan, air bersih bagi seorang bidan adalah mutlak untuk sarana standar persalinan. Dengan adanya air bersih, proses persalinan bisa terhindar dari risiko infeksi yang mengancam keselamatan sang ibu dan si bayi.
 
Karena itu, Lis sempat shock saat awal bertugas di Gunungkidul. "Bayangkan saja, di kampung kelahiran saya di Banjarnegara, air begitu melimpah," ujarnya. Sementara itu, di Gunungkidul, dia harus antre untuk mendapat air bersih. Itu pun jumlahnya tidak seberapa. Kalau suplai air bersih dari pemerintah telat, tidak jarang dia harus berjalan hingga dua kilometer untuk mencari mata air atau sendang.  "Jalannya saja dua kilometer. Belum antrenya yang bisa berjam-jam," ungkap istri Hasyim itu.
 
Menurut Lis, krisis air bersih di Gunungkidul berkaitan erat dengan angka kematian bayi atau ibu saat persalinan. Dia membeberkan, pada 2008, terjadi dua kasus kematian karena persalinan, sedangkan tahun berikutnya satu kasus. "Dalam kasus kematian karena persalinan, satu saja sudah menjadi kasus signifikan. Tugas tenaga medis, harus membuat angka kematian persalinan nihil," tegasnya.

Ibunda Arina Hikmah, Jazi" Royan, dan Sarwa Indah itu pernah menemui kasus persalinan yang membuatnya trenyuh. Kasus tersebut terjadi pada 2008. Ada seorang warga Desa Sambirejo yang hamil tua. Dia ditinggal suami merantau ke luar negeri untuk mencari nafkah. Perempuan itu sehari-hari harus mencari air bersih sendiri dengan mengendarai motor sejauh hampir lima kilometer. Nah, suatu saat, kondisinya drop. Dia terjatuh dari motor yang dikendarainya. "Dugaan saya dia drop karena stres," tandasnya.

Untungnya, perempuan tadi jatuh sekitar 300 meter dari rumah Lis. Maka, Lis langsung meluncur begitu mendapat kabar dari masyarakat. "Kondisi kandungannya sangat parah. Dia harus dibawa ke rumah sakit agar ditangani dokter kandungan," kenang Lis.

Lagi-lagi untung, perempuan tersebut cepat ditangani dokter kandungan di sebuah rumah sakit di Kabupaten Klaten (letak Desa Sambirejo lebih dekat ke Klaten daripada ke ibu kota Gunungkidul, Wonosari, Red). "Ibu dan anaknya bisa diselamatkan. Kata dokter, telat lima belas menit saja bisa lewat (meninggal, Red)," katanya.

Berawal dari kasus itulah, Lis kepikiran. Dia lalu mencari akal agar masyarakat di desanya terbebas dari krisis air bersih sehingga tidak harus pergi jauh-jauh untuk mendapatkan air kehidupan itu. Asumsi Lis kala itu, jika suplai air bersih ke rumah penduduk lancar, risiko ibu hamil kecapekan atau stres bisa ditekan. "Selain itu, saya tidak pusing lagi mencari air bersih untuk proses persalinan bayi di tempat praktik saya," kata Lis.

Setelah mencari-cari referensi dari berbagai sumber, pada 2009 muncul gagasan dalam benak Lis untuk membuat sumur bor. Gagasan Lis untuk mengatasi kelangkan air bersih tersebut memang terkesan sederhana. Tetapi, selama ini belum ada warga yang "berani" berinisiatif membuat sumur bor. Alasannya, antara lain, berbau klenik. "Krisis air bersih menurut warga di sini sudah pemberian leluhur. Masyarakat harus nerimo," tuturnya.

Alasan itu bukannya membuat Lis mundur. Dia justru tambah bersemangat untuk menepis anggapan tidak benar itu. Dia pun tak henti-hentinya memberikan pengarahan kepada warga akan pentingnya air bersih. Upayanya tidak sia-sia. Makin banyak warga yang menyadari pentingnya air bersih. Setelah itu, Lis berusaha mencari jalan untuk mendapatkan dana pembangunan sumur bor.

Lis lalu mengikuti sayembara pemberian dana hibah dari Pos Bakti Bidan di Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Saat menyusun proposal, dia sempat kelimpungan. Pasalnya, dia tidak pernah belajar teknik sipil, termasuk membuat sumur bor. "Bahkan, saya sering dicibir. Bidan kok mau berlagak jadi insinyur," kata Lis menirukan cibiran warga.

Namun, berkat bantuan sejumlah teman, Lis berhasil menyelesaikan proposal pembuatan sumur bor. Proposalnya pun ternyata mendapat sambutan positif. IBI bersedia mencairkan dana Rp 21 juta. Dengan duit Rp 21 juta, Lis nekat membuat sebuah sumur bor yang bisa dimanfaatkan untuk lima kepala keluarga di desanya. Sumur bor pertama yang dibuat Lis berkedalaman sekitar 100 meter.

Gayung bersambut. Kerja keras dan niat baik Lis terendus Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Kementerian yang dipimpin Djoko Kirmanto itu menganggap proyek sumur bor Lis sangat logis dan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Akhirnya, PU pun bersedia mengucurkan dana Rp 350 juta. Dengan suntikan dana itu, jangkauan sumur bor Lis semakin luas. Yakni, mencapai 20-an kepala keluarga. "Yang mahal untuk instalasi penyaluran air ke rumah-rumah penduduk," katanya.

Saat ini keberadaan sumur bor di Gunungkidul semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selain dikonsumsi, air bersih itu bisa untuk keperluan MCK (mandi cuci kakus) serta peternakan. Menurut Lis, efek ekonomi masyarakat mengiringi keberadaan sumur bor buatannya.

Jumlah sumur bor karya Lis kini terus bertambah. "Di setiap dusun di Desa Sambirejo sekarang minimal ada satu sumur," jelasnya.

Untuk memperlancar proses pengaliran air dari sumur bor, Lis kini harus menarik iuran untuk membayar tagihan listrik. Sebab, untuk menyedot air dari sumur, diperlukan bantuan jet pump. Iuran dari masyarakat terkumpul sekitar Rp 2 juta per bulan. Uang itu tidak hanya digunakan untuk membayar tagihan listrik. Sebagian ditabung untuk membantu warga kurang mampu bila harus menjalani persalinan di rumah sakit.

Berkat gagasan "brilian"-nya menciptakan sumur bor di desanya, Lis menyabet sejumlah penghargaan. Di antaranya penghargaan Pahlawan Wanita dan Srikandi Award 2009. Kemudian penghargaan dari Corporate Forum for Community Development (CFCD) Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada 2012. "Mudah-mudahan yang kecil ini ada manfaatnya bagi masyarakat banyak," tandas Lis. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gandeng Desainer New York, Bikin Kejutan dengan Edisi Terbatas

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler