JAKARTA - Pembebasan sekolah bekas RSBI menerima sumbangan dari masyarakat masih berpotensi membuka peluang mereka mengingkari semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Kemendikbud sampai sekarang tidak memiliki instrumen untuk mengawasi model sumbangan yang dimaksud. Padahal MK mengugurkan RSBI karena biaya yang dibebankan kepada masyarakat terlalu besar.
Peneliti ICW yang ikut mengajukan uji materi aturan RSBI di UU Sisdiknas, Febri Hendri mengatakan, Kemendikbud harus segera membuat instrument pengawasan sumbangan masyarakat kepada sekolah bekas RSBI. "Saya tidak memungkiri jika masyarakat boleh menyumbang sekolah. Karena sudah diatur dalam UU Sisdiknas," kata dia, JUmat (10/1).
Tetapi jika tidak ada pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat, dia khawatir istilah sumbangan hanya menjadi kedok saja. Dalam prakteknya, pihak sekolah ternyata mematok nominal sumbangan yang harus dibayarkan masyarakat atau wali murid.
Modus yang acap kali dipakai adalah, sekolah memberikan beberapa alternatif nominal sumbangan. Praktek ini dinilai bias, karena di satu sisi membebaskan wali murid memilih besaran sumbangan.
Tetapi di sisi lain, besaran sumbangan telah ditetapkan oleh pihak sekolah, meskipun ada beberapa variasi nominal sumbangan. "Saya tetap berpegangan jika putusan MK itu semangatnya adalah urusan pembiayaan di sekolah berlabel RSBI," tandasnya.
Dia tidak ingin pemda atau sekolah menyiasati dengan cara apapun semangat putusan MK itu. Dalam aturan Kemendikbud sudah tegas soal rambu-rambu sumbangan masyarakat dalam urusan pendidikan. Di antaranya adalah nominalnya tidak ditentukan sekolah. Begitu pula dengan sistem pembayarannya diangsur atau dibayarkan sekaligus juga menjadi keputusan masyarakat.
Ketentuan sumbangan berikutnya adalah, tidak berkaitan dengan saringan masuk siswa. Kemendikbud tidak memperbolehkan pihak sekolah menjual kursi untuk siswa yang orangtuanya berani menyumbang lebih besar dibanding lainnya. Berikutnya sumbangan juga tidak boleh dikaitkan dengan evaluasi atau kelulusan siswa.
Febri juga menyayangkan jika Kemendikbud membebaskan pemda untuk melabeli sekolah bekas RSBI. "Memang pendidikan dasar dan menengah itu wewenang pemda. Tetapi sistem pendidikan nasional kan tetap berlaku," tandasnya.
Untuk itu, dia meminta Kemendikbud mengambil alih wewenang penamaan sekolah-sekolah itu. Dia mengusulkan sekolah bekas RSBI ditetapkan menjadi sekolah standar nasional (SSN) saja. Sebab setelah digugurkannya status SBI/RSBI oleh MK, otomatis label sekolah di UU Sisdiknas tinggal Sekolah Pelayanan Minimal (SPM) dan SSN saja. Dia menegaskan tidak ada istilah SSN plus atau SSN lainnya. (wan/nw)
Peneliti ICW yang ikut mengajukan uji materi aturan RSBI di UU Sisdiknas, Febri Hendri mengatakan, Kemendikbud harus segera membuat instrument pengawasan sumbangan masyarakat kepada sekolah bekas RSBI. "Saya tidak memungkiri jika masyarakat boleh menyumbang sekolah. Karena sudah diatur dalam UU Sisdiknas," kata dia, JUmat (10/1).
Tetapi jika tidak ada pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat, dia khawatir istilah sumbangan hanya menjadi kedok saja. Dalam prakteknya, pihak sekolah ternyata mematok nominal sumbangan yang harus dibayarkan masyarakat atau wali murid.
Modus yang acap kali dipakai adalah, sekolah memberikan beberapa alternatif nominal sumbangan. Praktek ini dinilai bias, karena di satu sisi membebaskan wali murid memilih besaran sumbangan.
Tetapi di sisi lain, besaran sumbangan telah ditetapkan oleh pihak sekolah, meskipun ada beberapa variasi nominal sumbangan. "Saya tetap berpegangan jika putusan MK itu semangatnya adalah urusan pembiayaan di sekolah berlabel RSBI," tandasnya.
Dia tidak ingin pemda atau sekolah menyiasati dengan cara apapun semangat putusan MK itu. Dalam aturan Kemendikbud sudah tegas soal rambu-rambu sumbangan masyarakat dalam urusan pendidikan. Di antaranya adalah nominalnya tidak ditentukan sekolah. Begitu pula dengan sistem pembayarannya diangsur atau dibayarkan sekaligus juga menjadi keputusan masyarakat.
Ketentuan sumbangan berikutnya adalah, tidak berkaitan dengan saringan masuk siswa. Kemendikbud tidak memperbolehkan pihak sekolah menjual kursi untuk siswa yang orangtuanya berani menyumbang lebih besar dibanding lainnya. Berikutnya sumbangan juga tidak boleh dikaitkan dengan evaluasi atau kelulusan siswa.
Febri juga menyayangkan jika Kemendikbud membebaskan pemda untuk melabeli sekolah bekas RSBI. "Memang pendidikan dasar dan menengah itu wewenang pemda. Tetapi sistem pendidikan nasional kan tetap berlaku," tandasnya.
Untuk itu, dia meminta Kemendikbud mengambil alih wewenang penamaan sekolah-sekolah itu. Dia mengusulkan sekolah bekas RSBI ditetapkan menjadi sekolah standar nasional (SSN) saja. Sebab setelah digugurkannya status SBI/RSBI oleh MK, otomatis label sekolah di UU Sisdiknas tinggal Sekolah Pelayanan Minimal (SPM) dan SSN saja. Dia menegaskan tidak ada istilah SSN plus atau SSN lainnya. (wan/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Kesra Guru Jangan Bentuk Tunai
Redaktur : Tim Redaksi