JAKARTA - Jajaran kepolisian berkejaran dengan waktu. Jika ratusan napi yang kabur dari Lapas Tanjunggusta tak cepat dibekuk, maka aksi kriminalitas akan marak dalam waktu dekat ini.
Peringatan tersebut disampaikan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala. Menurut pria bergelar profesor itu, secara manusiawi, para napi yang kabur punya ambang batas daya kemampuan bertahan.
"Sampai berapa lama mereka sembunyi. Kalau sudah lapar, tak punya uang, maka mereka akan mencuri, akan merampok," ujar pemilik nama lengkap Adrianus Eliasta Sembiring Meliala itu kepada JPNN kemarin (16/7).
Pencurian dan perampokan ini, lanjutnya, berpotensi dilakukan oleh napi yang berasal dari luar Medan. Terlebih, jika mereka tak punya saudara atau kenalan di Kota Medan, yang bisa dimintai uang atau makanan.
Ada potensi aksi kriminalitas melonjak, tapi kata Adrianus, ini sekaligus menjadi peluang aparat kepolisian untuk membekuk kembali para napi itu. "Maka masyarakat harus diingatkan kewaspadaannya, kerjasamanya. Jika mereka mencuri, merampok, jika masyarakat peduli, maka mereka gampang tertangkap lagi," ujar pria yang pernah menjadi Anggota Badan Pertimbangan Pemasyarakatan, Ditjen Pemasyarakatan, Departemen Hukum & HAM RI (2009-2011) itu.
Nah, khusus napi yang berasal dari luar Kota Medan, menurut Adrianus, sebenarnya relatif lebih gampang untuk ditangkap. Pasalnya, sebagai seorang buronan, napi yang kabur itu teramat gampang dikenali.
"Biasanya baju lusuh, tampang kelaparan karena tak punya uang untuk beli makan. Mereka juga tak punya orientasi waktu dan tempat. Berkeliaran. Jika warga masyarakat Medan dan sekitarnya punya kepedulian yang tinggi, sebenarnya tidak susah untuk menangkap mereka," ulas anggota Kompolnas itu.
Sayangnya, menurut mantan penasehat Kapolri itu, masyarakat Kota Medan punya tipologi mengelompok. "Ada perumahan China, ada Melayu, ada Keling, dan sebagainya. Nah, kalau napi yang kabur itu pintar, mereka akan masuk ke kelompok yang dianggap akan mendukungnya. Kalau seperti ini yang terjadi, maka butuh waktu bagi polisi untuk menangkapnya," ujar Adrianus.
Karena itu, kata Adrianus, sangat penting bagi polisi untuk melakukan pendekatan ke masyarakat, terutama keluarga para napi yang kabur. "Karena begitu kabur, mereka butuh makan, butuh ganti baju, butuh uang untuk pergi jauh. Karena itu, polisi harus mendekati pihak keluarga agar mau diajak kerjasama," saran dia.
Adri yakin cara itu sudah dilakukan polisi, selain sweeping dan pengawasan pintu keluar baik Belawan, Polonia, maupun jalur darat. "Sweeping itu kan upaya penangkapan secara random. Pendekatan ke keluarga napi juga penting," ujar pria kelahiran 1966 itu. (sam/jpnn)
Peringatan tersebut disampaikan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala. Menurut pria bergelar profesor itu, secara manusiawi, para napi yang kabur punya ambang batas daya kemampuan bertahan.
"Sampai berapa lama mereka sembunyi. Kalau sudah lapar, tak punya uang, maka mereka akan mencuri, akan merampok," ujar pemilik nama lengkap Adrianus Eliasta Sembiring Meliala itu kepada JPNN kemarin (16/7).
Pencurian dan perampokan ini, lanjutnya, berpotensi dilakukan oleh napi yang berasal dari luar Medan. Terlebih, jika mereka tak punya saudara atau kenalan di Kota Medan, yang bisa dimintai uang atau makanan.
Ada potensi aksi kriminalitas melonjak, tapi kata Adrianus, ini sekaligus menjadi peluang aparat kepolisian untuk membekuk kembali para napi itu. "Maka masyarakat harus diingatkan kewaspadaannya, kerjasamanya. Jika mereka mencuri, merampok, jika masyarakat peduli, maka mereka gampang tertangkap lagi," ujar pria yang pernah menjadi Anggota Badan Pertimbangan Pemasyarakatan, Ditjen Pemasyarakatan, Departemen Hukum & HAM RI (2009-2011) itu.
Nah, khusus napi yang berasal dari luar Kota Medan, menurut Adrianus, sebenarnya relatif lebih gampang untuk ditangkap. Pasalnya, sebagai seorang buronan, napi yang kabur itu teramat gampang dikenali.
"Biasanya baju lusuh, tampang kelaparan karena tak punya uang untuk beli makan. Mereka juga tak punya orientasi waktu dan tempat. Berkeliaran. Jika warga masyarakat Medan dan sekitarnya punya kepedulian yang tinggi, sebenarnya tidak susah untuk menangkap mereka," ulas anggota Kompolnas itu.
Sayangnya, menurut mantan penasehat Kapolri itu, masyarakat Kota Medan punya tipologi mengelompok. "Ada perumahan China, ada Melayu, ada Keling, dan sebagainya. Nah, kalau napi yang kabur itu pintar, mereka akan masuk ke kelompok yang dianggap akan mendukungnya. Kalau seperti ini yang terjadi, maka butuh waktu bagi polisi untuk menangkapnya," ujar Adrianus.
Karena itu, kata Adrianus, sangat penting bagi polisi untuk melakukan pendekatan ke masyarakat, terutama keluarga para napi yang kabur. "Karena begitu kabur, mereka butuh makan, butuh ganti baju, butuh uang untuk pergi jauh. Karena itu, polisi harus mendekati pihak keluarga agar mau diajak kerjasama," saran dia.
Adri yakin cara itu sudah dilakukan polisi, selain sweeping dan pengawasan pintu keluar baik Belawan, Polonia, maupun jalur darat. "Sweeping itu kan upaya penangkapan secara random. Pendekatan ke keluarga napi juga penting," ujar pria kelahiran 1966 itu. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rampok Bersenpi Satroni Minimarket
Redaktur : Tim Redaksi