Axel Moeller, Presiden Audax Indonesia, Penyelenggara Event Bersepeda Long Distance Paling Populer (2-Habis)

Sempat Door-to-Door Keliling Cari Peserta di Jakarta

Senin, 17 Desember 2012 – 00:41 WIB
Axel Moeller (kiri) dan Tenne Permatasari dari Audax Indonesia memaparkan aturan mengenai olahraga bersepeda jarak jauh Audax, Selasa (11/12). Foto: Raka Denny/Jawa Pos

Sehebat atau sekondang apa pun sebuah event, tidak ada yang langsung berjalan mulus. Dalam tiga tahun terakhir, dengan sabar Axel Moeller mengembangkan Lombok Audax menjadi salah satu event cycling paling top di Indonesia.
 
 AGUNG PUTU ISKANDAR, Mataram
 
AXEL Moeller, kini 60 tahun, tahu betapa sulitnya membangun sesuatu sejak kecil. Lahir dari keluarga miskin di Jerman, dia tahu bagaimana mencari kehidupan yang lebih baik.
 
Bukan hanya itu, sebagai mantan atlet dayung tim nasional Jerman, dia juga tahu betapa sulitnya mengembangkan diri dan belajar lewat olahraga. Ya, Moeller sang penyelenggara event sepeda menantang adalah mantan atlet dayung. Kelas dunia pula!
 
Moeller lahir di Lubeck, Jerman, 6 Maret 1952. Di kota di pantai utara Jerman itu, dia mengenal olahraga dayung. Keluarganya bukanlah keluarga mampu. Mereka mencari nafkah dengan menjual bunga. Moeller membawa bunga-bunga dari berbagai sisi kota naik sepeda, menaruhnya di keranjang depan.
 
Saat masih berusia 12 tahun, dia harus berkeliling kota hingga 30 meter setiap hari tanpa libur. Suatu ketika, dia berjalan melintasi sebuah jembatan besar di kota.

Saat itulah dia melihat para atlet dayung dari Lubecker Ruderklub alias Klub Dayung Lubeck sedang berlatih. "Dalam hati, saya berkata pada diri sendiri bahwa saya ingin melakukannya," kenangnya.

Moeller langsung bergabung dengan klub tersebut. Dia melahap banyak porsi latihan dengan sangat keras. Dia semakin berfokus mendalami olahraga itu karena semua kebutuhan dan tempat tinggalnya dicukupi.
 
Sepeda dia jadikan alat untuk meningkatkan kemampuan. Untuk meningkatkan stamina, dia kerap bersepeda jarak jauh dengan jarak tempuh 200-400 kilometer.
 
Moeller akhirnya mampu menembus tim senior setelah beberapa kali menjuarai kejuaraan dayung di level junior. Pada 1969"1972, dia masuk tim nasional kendati usianya masih sangat belia.
 
Namun, saat hendak mewakili negara dalam kejuaraan dunia dayung, dia bersama rekan setimnya tidak diperkenankan. Sebab, saat itu dia termasuk salah seorang yang menolak perang.
 
"Kami menolak perang dan kami menentang kemapanan. Kami tidak boleh mewakili negara kalau rambut kami gondrong. Kami menolak tunduk," ceritanya.
 
Setelah itu, Moeller pindah ke Hamburg. Namun, kecintaannya pada olahraga dayung tidak pernah mati. Gagal di kejuaraan dunia, dia bersama rekan-rekannya mengikuti kejuaraan dayung tingkat master untuk usia di atas 30 tahun. Yang lucu, dia selalu mendapat juara.

Tapi selalu peringkat kedua. "Lebih dari tiga kali saya meraih posisi kedua. Itu masih misteri bagi saya sampai sekarang," katanya lantas terbahak.
 
Moeller yang gemar dayung berkeliling Eropa mengikuti berbagai kejuaraan dayung. Salah satu pengalaman paling menarik: Pada Maret 1985, pesawat yang dia tumpangi dibajak!
 
Saat itu, dia bersama rekan setim menumpang pesawat Boeing 737 yang dioperasikan maskapai penerbangan Jerman Lufthansa. Dari Hamburg, pesawat transit di Heathrow, London. Rupanya, salah seorang penumpang menerobos masuk kokpit dan mengancam pilot. Polisi berhasil menangkap lelaki asal Inggris Selatan tersebut setelah dibujuk untuk menyerah.
 
"Kami diberi tahu bahwa pesawat dibajak. Tiba-tiba, pesawat berhenti di sebuah runway. Kemudian, banyak polisi dan ambulans yang mengelilingi pesawat. Semua orang menunduk tak tahu apa yang terjadi," ungkapnya.
 
Moeller lantas menunjukkan kliping korannya. Ada beberapa tumpuk koran, baik cetakan asli maupun fotokopi. Salah satunya adalah koran berbahasa Inggris, The Standard, yang menulis berita pembajakan tersebut. Beberapa koran Jerman bahkan memuat foto Moeller bersama salah seorang rekan dayung yang dianggap sebagai "atlet yang jadi korban pembajakan pesawat di Inggris".
 
"Sebenarnya itu bukan kisah lucu. Tapi, setiap kali saya menceritakannya ke orang lain, seperti kepada Anda, saya suka tertawa sendiri. Apalagi, saya baru sadar kalau masih menyimpan koran-koran yang memberitakan kejadian itu," ujarnya lantas terbahak.
 
Kendati dayung telah mewarnai sebagian besar hidupnya, Moeller dan sepeda tetap tidak bisa dipisahkan. Olahraga dayung memang membuat dirinya bisa berkeliling Eropa, bahkan keliling dunia. Namun, sepedalah yang justru menemaninya setiap hari. Di mana pun mengunjungi suatu negara, Moeller pasti akan bersepeda.
 
Bahkan, saat kali pertama ke Lombok bersama dua putrinya, Miriam, 27, dan Madeleine, 25, dia nekat keliling Lombok dengan sepeda murah yang dibeli dari warga sekitar. "Saya tidak bisa pergi ke suatu tempat dan diam saja. Saya harus melakukan sesuatu. Saya harus berolahraga. Kalau tidak bisa bersepeda, saya akan lari," ucapnya.
 
Sampai sekarang, sisa-sisa kejayaan Moeller masih bisa terlihat dari fisiknya. Tingginya yang mencapai 190 sentimeter membuat jangkauan tangannya sangat panjang. Itu merupakan keuntungan tersendiri karena jangkauan ayunan dayung lebih jauh daripada orang-orang dengan bodi pendek. Namun, praktis sejak tinggal di Lombok, olahraga yang dia geluti hanya bersepeda.
 
Kecintaan pada sepeda itu pula yang membuat Moeller bersama sejumlah warga Lombok membentuk komunitas. Komunitas itu pula yang membantu dia menggelar Lombok Audax pada 2010, kendati setelah itu akhirnya dia mengundurkan diri karena kecewa.
 
Lagi pula, Audax pertama tersebut tidak terlalu populer karena sebagian besar peserta hanya warga sekitar. "Aturan-aturan dan jalur yang disepakati juga tidak tertib dijalankan. Saya merasa, bukan seperti ini Audax yang sebenarnya," ujarnya.
 
Dia lantas berjanji untuk membuat Audax yang lebih serius, lebih matang, dan lebih menggembirakan. Moeller percaya bahwa Audax adalah event bagi para cyclist untuk gembira. Untuk setiap etape yang berhasil diselesaikan, peserta juga harus merasakan "selebrasi". Karena itulah, start dan finis dilakukan di hotel dengan fasilitas yang bagus. Para peserta yang berhasil menyelesaikan jarak ratusan kilo tersebut akan diberi medali.
 
Lombok Audax pun digelar lagi pada 2011. Pesertanya hanya sekitar 80 orang. Namun, Moeller benar-benar menyeleksi mereka. Hanya dari kalangan cyclist yang serius yang boleh ikut. Beberapa teman baiknya yang tinggal di Lombok juga diundang.

Misalnya, pengusaha mutiara Francesco Bruno dan pengusaha ekspor-impor mebel Amedeo Paroldo. Kebetulan, dua orang asal Italia itu adalah penggemar berat road bike yang juga mencintai Lombok.
 
Audax kedua tersebut dianggap sukses. Sesama peserta bahkan jadi seperti keluarga yang saling mengenal. Moeller senang karena peserta hanya berfokus memikirkan bersepeda, sedangkan urusan lainnya dia tangani.
 
"Di setiap pemberhentian, kami sediakan minuman dan nutrisi khusus bagi cyclist. Kemudian, pada akhir acara akan dinner, sehingga semua orang bisa berkumpul dan saling mengenal," kata Moeller.
 
"Komunitas sepeda itu orangnya itu-itu saja. Kalau sudah saling mengenal, rasanya seperti keluarga besar," imbuhnya.
 
Karena kesuksesan Lombok Audax kedua itulah, Moeller kemudian berpikir bahwa format Audax memang pas untuk Lombok. Hampir semua ruas jalan sangat mulus dan pas buat road bike (sepeda balap). Pemandangannya juga indah. "Audax lebih bisa membuat pesepeda mengeksplorasi Lombok secara utuh," tandasnya.
 
Moeller lantas merencanakan menggelar Lombok Audax ketiga pada April 2012. Namun, hingga beberapa bulan menjelang acara, pendaftaran sepi. Moeller sempat khawatir. Bersama istrinya, Tenne Permatasari, dia lantas nekat ke Jakarta dan berkeliling menyebarkan brosur. Dia mendatangi satu per satu toko sepeda di Jakarta dan menitipkan brosur.
 
Tanggapan toko-toko tersebut awalnya tidak bagus. Bahkan, banyak yang enggan dititipi brosur. Tapi, Moeller yakin itu adalah satu-satunya cara untuk membawa event tersebut ke kancah nasional, bahkan hingga Asia Tenggara.
 
Ternyata, cara door-to-door tersebut sangat efektif. Para peserta datang dari kalangan eksekutif di Indonesia hingga cyclist mancanegara. Beberapa forum sepeda di dunia maya juga membicarakannya. Hingga beberapa hari menjelang pelaksanaan, dia masih harus meladeni pesepeda yang memohon-mohon agar bisa ikut. Total jumlah peserta meledak hingga 380 orang.
 
Namun, peserta yang banyak membuat organisasi event menjadi sangat sibuk. Moeller akhirnya sadar bahwa jumlah peserta yang terlalu banyak membuatnya tidak efektif.

Karena itu, harus ada seleksi untuk setiap event Audax. Peserta pun harus dibatasi. Untuk Lombok Audax 2013 yang diselenggarakan pada Januari mendatang dan didukung penuh Jawa Pos Cycling, peserta akan lebih dibatasi.
 
Sang istri, Tenne, tentu ikut pusing tujuh keliling. Dia punya peran sangat besar dalam menyukseskan perencanaan dan penyelenggaraan ini. "Saya dan Axel banyak menutupi kekurangan satu sama lain. Axel kadang orangnya nggak mau kompromi dan lurus. Saya yang harus memberi tahu dia kebiasaan-kebiasaan Indonesia, seperti ke pejabat-pejabat, untuk mendapatkan dukungan kegiatan," cerita Tenne.
 
Moeller bersama Tenne sekarang mengelola Audax Indonesia, membawahkan berbagai kegiatan-kegiatan long distance cycling di Indonesia. Rencananya, dalam tahun-tahun ke depan, mereka mengembangkan event itu lebih luas di berbagai daerah lain di Indonesia.
 
Meski demikian, bagi Moeller, Audax di Lombok adalah yang paling utama. Audax adalah sarana untuk memperkenalkan Lombok jauh lebih baik lagi. Dia ingin mengajak sebanyak mungkin orang menikmati keindahan alam pulau tersebut melalui bersepeda. Itu adalah salah satu bentuk rasa terima kasihnya kepada alam yang telah memberinya banyak hal.
 
"Sampai saat ini, saya akan terus berterima kasih kepada Indonesia. Saya bersyukur bisa tinggal di sini, menikmati indahnya alam dengan gratis. I love this country, I love the people here, Europe can learn so much from you. I found my paradise in Indonesia which makes me to be the most happy man on this world," ungkapnya. (habis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Model-Model Impor Mewarnai Panggung Catwalk Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler