JAKARTA - Pakar pengobatan pecandu narkoba, yang juga seorang psikiater ternama, Prof Dr H Dadang Hawari, urun pendapat terhadap ditemukannya 114 personel polisi di lingkup kerja Polda Sumut yang terbukti positif mengonsumsi narkoba.
Dadang mengingatkan, jangan sampai polisi yang terlibat penggunaan narkoba dipecat. Menurut pemilik pusat rehabilitasi pecandu narkoba di Bintaro, Jakarta Selatan itu, justru sangat berbahaya jika polisi yang terlibat narkoba dipecat.
Diterangkan, jika polisi pengguna narkoba dipecat, otomatis kecanduannya sebagai pemakai narkoba belum hilang tatkala statusnya sebagai polisi dicopot. Nah, dalam situasi tertekan akibat dipecat, yang bersangkutan malah bakal makin menjadi-jadi mengkonsumsi narkoba.
"Yang lebih berbahaya lagi, yang bersangkutan justru bisa masuk ke bisnis narkoba. Ini berbahaya," ujar Dadang Hawari, kepada JPNN di Jakarta, kemarin (26/6).
Seperti diberitakan, hasil tes urine secara acak yang dilakukan Polda Sumut, ditemukan 114 anggota polisi terlibat penggunaan narkoba. Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Raden Heru Prakoso mengatakan, satu dari 114 polisi yang terlibat bakal dipecat. Dia adalah Bripka Faizal Simamora, yang bertugas di Polres Sibolga.
“Faizal sudah divonis 6 bulan, karena kasus narkoba. Kemudian ia juga kedapatan mengantongi sabu-sabu, dan dari dalam rumahnya petugas menemukan bong. Dia akan dipecat,” sebut Heru.
Dadang juga memberikan masukan penting kepada Kapolda Sumut, sebagai pucuk pimpinan polisi di Sumut. Dikatakan, terhadap 114 personil polisi itu tidak bisa hanya dilakukan pembinaan saja. Kata Dadang, sebagaimana pengguna narkoba lainnya, para personil polisi itu harus menjalani terapi khusus.
Kata Dadang, terapi ini memerlukan waktu satu minggu. "Saat menjalani masa terapi ini, kita cuci otaknya. Kita juga lakukan detoksifikasi, yakni mengeluarkan pengaruh narkoba dan racun-racun lain dari tubuhnya. Juga mendelete memorinya tentang narkoba, seperti kita mendelete memori di hp. Tapi ini dengan obat-obat khusus," beber Dadang.
Terapi ini harus dijalani polisi pengguna narkoba, dari yang levelnya baru tahap coba-coba, hingga yang sudah level kecanduan.
Langkah selanjutnya, setelah melewati masa terapi, baru masuk ke masa rehabilitasi selama satu hingga dua bulan. Begitu sudah ada tanda-tanda baik, maka polisi ini bisa diaktifkan lagi bertugas. "Tapi jangan ditempatkan di bagian kejahatan narkoba," ujarnya.
Menurut Dadang, para petinggi kepolisian belum memahami cara penanganan anggotanya yang terlibat narkoba. Karenanya, dia berharap, pemberitaan ini sekaligus bisa menjadi masukan bagi Kapolda Sumut.
Bahkan, Dadang menyatakan siap digandeng untuk menangani 114 polisi yang terlibat narkoba itu. "Kalau mau saya kasih buku panduannya. Obat-obatnya juga murah kok," ujar Dadang, yang juga digaet sejumlah rumah sakit di Jakarta untuk menangani pasien khusus ini.
Dadang juga mengaku sering didatangi pasien yang berprofesi sebagai polisi. Saat datang berobat, lanjutnya, sejumlah anggota korps baju coklat itu tak menyebutkan profesinya sebagai polisi. Namun, dalam proses awal pengobatan, Dadang selalu menanyakan latar belakang profesinya.
"Barulah mereka mengakui bahwa dirinya seorang polisi. Mereka dengan kesadaran sendiri mau berobat, tidak masuk kerja hingga beberapa lama. Atasannya pun tak tahu," ceritanya.
Seperti diberitakan, 114 polisi yang terbukti positif mengonsumsi narkoba menjalani pembinaan di gedung SPN (Sekolah Polisi Negara) Sampali.
Hanya tidak terungkap, bagaimana pola pembinaan yang dilakukan. Apakah menggunakan model terapi ala Dadang Hawari, ataukah dengan metode lain. Hanya Dadang menyebutkan, para petinggi kepolisian belum memahami cara yang tepat menangani anggotanya yang terlibat narkoba.
"Hingga saat ini belum ada secara institusi (kepolisian, red) yang menggunakan jasa saya. Kalau personal cukup banyak," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... NIP Honorer K1 Mulai Digarap
Redaktur : Tim Redaksi