Bakti Basuh Kaki, Tradisi yang Sudah Jarang Dilakukan Menjelang Imlek

Selasa, 01 Februari 2022 – 15:51 WIB
Tradisi bakti basuh kaki orang tua sebelum perayaan Imlek oleh warga keturunan Tionghoa di Rumah Rasa Dharma, Gang Pinggir Pecinan, Kota Semarang. FOTO: Wisnu Indra Kusuma/JPNN.com.

jpnn.com - Banyak orang mengenal Imlek sebagai tradisi bagi-bagi angpau. Namun, ada tradisi sarat nilai menjelang tahun baru penanggalan China itu.

Laporan Wisnu Indra Kusuma, Semarang

BACA JUGA: Kasus Covid-19 Melonjak, Tina Toon Merayakan Imlek Dengan Cara Begini

JAM dinding di Rumah Perkoempoelan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma), Jalan Gang Pinggir, Kota Semarang, Jawa Tengah, menunjukkan pukul 10.00.

Pada hari itu, Minggu (30/1), puluhan orang berkumpul di rumah yang ada di kawasan Pecinan tersebut.

BACA JUGA: Potret Perayaan Imlek Warga Bangka

Ada sepuluh orang tua duduk berjejer di kursi merah. Di depan mereka terdapat 13 orang bersimpuh di lantai.

Mereka saling berhadapan dengan mata berkaca-kaca. Sekejap kemudian tradisi bakti basuh kaki dimulai.

BACA JUGA: Berbusana Merah, Dion Wiyoko Rayakan Imlek Pertama Bareng Putrinya

Belasan orang bersimpuh di lantai dengan ember kecil berisi sedikit air di depan mereka.

Handuk kecil berkelir putih juga telah disiapkan di pangkuan masing-masing orang tua.

Ketua Perkoempoelan Sosial Rasa Dharma Harjanto Kusuma Halim mengatakan banyak masyarakat mengenal perayaan Imlek dengan pesta dan bagi-bagi angpau.

Namun, ada nilai lain yang masih dipertahankan warga Tionghoa, yakni tradisi basuh kaki.

"Sebenarnya Imlek itu mengembalikan urusan bakti kepada keluarga. Ini wujud bakti dalam ajaran Konghucu," kata Harjanto kepada JPNN.com.

Menurutnya, tradisi perwujudan bakti atau xiao dalam ajaran Konghucu itu sudah jarang dilakukan. Walakin, Harjanto tetap menginginkan anak-anak sekarang makin mengerti peran dan jasa orang tua.

Sembari menjelaskan makna tradisi bakti basuh kaki yang berasal dari Xiao, Harjanto memutar sebuah lagu pujian yang mencerminkan kenangannya bersama mamanya.

"Saya selalu memutar lagu ini setiap acara ini. Terus terang ini juga lagu yang diputar ketika mama saya sakit di rumah sakit menjelang akhir hayatnya," ujarnya.

Syair Fu Qing Papa mengkisahkan bakti terhadap orang tua serta salah satu puisi karya Harjanto berjudul Basuh Kaki Orang Tua juga dibacakan pada acara basuh kaki. Meski pelaksanaan tradisi itu terlihat sederhana, suasananya justru penuh keharuan.

Tetes air mata terlihat di wajah para peserta tradisi basuh kaki. Tamu-tamu dari agama lain yang ikut menyaksikan acara itu juga tak kuasa menahan rasa haru.

Suasana haru memuncak ketika para orang tua melepas alas kaki. Kaki-kaki dengan kulit berkeriput akibat penuaan dicelupkan ke dalam ember.

Tak berselang lama, kaki-kaki para orang tua itu diangkat, kemudian diletakkan di atas paha anak-anak mereka. Selanjutnya, kaki-kaki basah itu dikeringkan dengan handuk kecil.

Tangis kian tidak terbendung ketika orang tua dan anak-anaknya bergantian saling memaafkan. Duduk di kursi, para orang tua itu meraih anak-anak mereka yang bersimpuh di lantai.

Prosesi selanjutnya dalam ritual basuh kaki ialah pemberian teh kepada orang tua. Teh itu dituangkan ke gelas merah kecil.

Cara menyerahkannya pun harus dengan dua tangan seperti saat bersembahyang. Pemberian teh itu sebagai lambang penghormatan dari anak kepada orang tua.

"Bagaimanapun kita tidak bisa melupakan peran dan jasa orang tua sebagai bagian dari diri kita," ucap Harjanto.

Pemuka warga Tionghoa di Pecinan Semarang itu menegaskan tradisi bakti basuh kaki bertujuan mengangkat kembali intisari Imlek yang berfokus pada keluarga.

"Betapa beruntungnya anak-anak yang masih bisa membasuh kaki mama atau papanya," terangnya.

Sebelum tradisi basuh kaki disudahi, para orang tua dan anak saling berpelukan erat. Ada kata-kata maaf di antara pelukan itu.

Suara dari para orang tua terdengar lirih karena tertahan oleh tangis. “Maafkan nenek ya, nak," kata seorang perempuan sepuh kepada cucunya. Air mata membasahi pipi mereka.

Namun, tradisi ini tidak hanya diikuti oleh warga Tionghoa penganut Konghucu. Ada pula warga dari kalangan muslim maupun penganut Kristen yang mengikuti tradisi itu.

Harjanto mengaku mengundang warga penganut agama lain sebagai upaya menjaga silaturahmi dan saling menghormati. Dia menyatakan agama bukanlah tembok penghalang.

Prosesi basuh kaki rampung, usai para peserta dan tamu undangan yang hadir di Rasa Dharma menerima jeruk Mandarin yang melambangkan buah pembawa rezeki.

"Jadi, kalau ada orang yang mau mengikuti ritual seperti ini, ya, monggo-monggo saja dari lintas etnis, agama, golongan, bisa menjadi ajang silahturahmi," tuturnya.

Salah satu peserta bakti basuh kaki, Angelina Cintya, mengaku mengikuti tradisi menjelang Imlek itu untuk menjadi warisan leluhur.

"Sedih sekali, saya baru pertama kali, rasanya kayak kena benget," tuturnya dengan nada sesenggukan.

Memang Angelina tidak membasuh kaki orang tuanya. Meski kedua orang tuanya masih hidup, dia memilih membasuh kaki neneknya.

Demi itu pula Angelina harus memboyong neneknya dari Kudus ke Semarang. Dia punya tujuan lain dengan membasuh kaki neneknya menjelang Imlek kali ini.

Angelina menginginkan neneknya mendampinginya menuju pelaminan.

"Tidak harus orang tua yang bisa bisa menemani ke pelaminan, karena kalau nenek juga bisa menemani saya, jadi ya harus berbakti juga sama nenek," kata perempuan berusia 18 tahun itu.(mcr5/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Boy
Reporter : Antoni, Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler