jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam suasana pandemi Covid-19 ini telah menyadarkan semua pihak, bahwa bangsa Indonesia belum terlepas dari berbagai bentuk penjajahan.
Bukan penjajahan atas nama kolonialisme maupun imperialisme dalam bentuk intervensi militer.
BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi Lembaga Negara Serahkan Laporan Kinerja ke MPR RI
Namun, penjajahan atas rasa takut terhadap kesehatan, penjajahan atas rasa takut terhadap kebodohan, dan penjajahan atas rasa takut terhadap kemiskinan.
Peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan RI di tengah pandemi Covid-19 di Istana Merdeka.
BACA JUGA: Hidayat Nur Wahid Usulkan Pembentukan Mahkamah Kehormatan MPR RI
Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri), Ketua DPR Puan Maharani (tengah) dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Foto: Humas MPR
Walaupun dilakukan sangat sederhana, tanpa jamuan, tanpa gelar pasukan, tetapi tetap berlangsung khidmat.
BACA JUGA: Catatan Ketua MPR RI, Merawat Ketahanan Komunal di Tengah Pandemi
“Indonesia harus tetap semangat dan optimistis. Bahwa berbagai bentuk penjajahan, seperti kemiskinan dan kebodohan akan bisa kita atasi. Dengan semangat bersama dan gotong royong, kita bisa wujudkan Indonesia maju,” ujar Bamsoet usai menjadi pembaca Teks Proklamasi dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/8).
Hadir selaku inspektur upacara Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden K.H. Maruf Amien, Menteri Agama Fachrul Razi sebagai pembaca doa, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Idham Azis. Sementara para menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara lainnya mengikuti upacara secara virtual.
Seperti diketahui, Soekarno dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955 telah meluruskan bahwa kolonialisme juga memiliki pakaian modern berupa penguasaan ekonomi, intelektual, maupun material.
Proklamator sekaligus Presiden Indonesia pertama Indonesia tersebut dalam pidato Hari Pahlawan 10 November 1961 juga telah memperingatkan bahwa perjuangan yang ia lakukan bersama para pendahulu bangsa lebih mudah karena mengusir penjajah.
Namun, perjuangan generasi masa depan akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.
"Pendapat tersebut kini semakin nyata, di mana hanya segelintir orang saja yang memiliki akses terhadap kekayaan. Laporan Global Wealth Report 2020 dari Boston Consulting Group menempatkan Indonesia di peringkat empat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand. Walaupun kekayaan per orang meningkat 6 kali lipat selama periode 2000-2016, namun setengah aset kekayaan di Indonesia dikuasai hanya 1 persen orang terkaya, kesenjangan antara kaya dan miskin mencapai 49 persen. Ini memperlihatkan kekayaan rata-rata penduduk Indonesia masih rendah," jelas Bamsoet.
Mantan Ketua DPR RI ini menegaskan, peringatan detik-detik proklamasi tak sekadar upacara seremonial tanpa makna. Melainkan menjadi pengingat bahwa saat ini bangsa Indonesia sudah memasuki usia kemerdekaan ke-75 tahun.
Berbagai hal yang dinikmati dari bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia saat ini, tak lepas dari pengorbanan para pejuang bangsa di masa lalu. Karenanya, guna memastikan Indonesia tetap berdiri tegak di masa depan, generasi terkini perlu melakukan pengorbanan di masa sekarang.
"Kita harus mencontoh filosofi petani pohon jati. Mereka rela menanam bibit jati, walaupun belum tentu akan menikmati hasil panennya. Itulah esensi sebenarnya jati diri bangsa Indonesia, menanam hari ini bukan semata untuk diri sendiri, melainkan untuk dinikmati anak bangsa esok hari," tegas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengungkapkan, dua proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, juga sudah mencontohkan kebijaksanaan dalam menjaga Indonesia. Keduanya banyak berbeda pendapat dalam berbagai hal, namun mau berkorban demi kepentingan yang lebih besar, demi kepentingan Indonesia.
"Sebagai contoh, Bung Karno menginginkan bentuk negara kesatuan, sedangkan Bung Hatta menginginkan federal. Ketika akhirnya bangsa Indonesia melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bermusyawarah, kemudian pada 29 Mei 1945 bermufakat menetapkan bentuk negara Indonesia adalah Kesatuan, Bung Hatta alih-alih menolak dan memaksakan pendapat justru bisa menerima dan mendukungnya. Sikap berbesar hati demi kepentingan bangsa inilah yang patut dicontoh, agar bangsa Indonesia tak terjebak dalam konflik sosial," pungkas Bamsoet. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi