jpnn.com, JAKARTA - Kasus Covid-19 di DKI Jakarta terus mengalami lonjakan.
Sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak menarik 'rem darurat' untuk menangani lonjakan kasus Covid-19 memunculkan pertanyaan.
BACA JUGA: Wagub DKI: Bisa Saja Rem Darurat Ditarik Kembali
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris mempertanyakan alasan Anies tidak menarik 'rem darurat'.
"Kalau di awal pandemi (Covid-19) dulu Gubernur Anies menjadi yang paling awal dan rajin menarik rem darurat bagi wilayahnya. Apa yang menjadi pertimbangan Anies sekarang belum melakukan hal yang sama," kata Charles dalam keterangan persnya diterima di Jakarta, Minggu (20/6).
BACA JUGA: Covid-19 Mengamuk di DKI, Hari Ini ada Rekor Lagi
Menurutnya, Provinsi DKI Jakarta mencetak rekor angka harian Covid-19.
Selama dua hari berturut-turut, DKI Jakarta mencetak rekor tertinggi angka kematian harian, yakni 66 jiwa dan kasus harian 4.895.
BACA JUGA: Tepis Kekhawatiran Irjen Fadil Imran, Wagub DKI Sebut Kondisi Jakarta Masih Bisa Dikendalikan
Charles mengatakan melihat kondisi tersebut, Jakarta bukan hanya sedang tidak baik-baik saja.
"Dalam kondisi DKI begitu, langkah Gubernur DKI Anies Baswedan yang hanya memperketat penegakan aturan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) mikro jelas tidaklah cukup," ungkapnya.
Menurutnya, data harian keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) faskes DKI sudah di atas 80 persen. Jauh di atas standar World Health Organization (WHO) 60 persen.
BOR RSDC Wisma Atlet bahkan sudah 90 persen, atau tertinggi selama faskes darurat itu berdiri.
"Ini membuat DKI menjadi provinsi dengan BOR faskes tertinggi secara nasional, atau dengan kata lain terancam kolaps," ucapnya.
Legislator Dapil III DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Barat, Kepulauan Seribu) itu mengatakan Anies harus menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total, sebagaimana yang pernah diterapkan di ibu kota pada 16 Maret 2020 dan 14 September 2020.
Sebab, lanjut dia, kondisi penularan Covid-19 di DKI Jakarta hari ini lebih parah dari kondisi sebelum gubernur menerapkan dua PSBB sebelumnya.
Pada PSBB terakhir di DKI diterapkan 14 September 2020, angka kasus harian berkisar sekitar 1.300 kasus dan angka kematian 20 jiwa lebih. Sementara sekarang sudah mencapai 4.800 lebih kasus dan 60 lebih angka kematian.
Charles menyatakan jika dalam kondisi penularan COVID-19 tergawat di DKI sekarang ini gubernur tidak kunjung mengajukan permohonan PSBB total kepada pemerintah pusat sebagaimana mekanisme aturan yang berlaku, maka dasar kebijakan gubernur DKI pada dua PSBB sebelumnya menjadi pertanyaan buat publik.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menegaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunggu keputusan dari pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan rem darurat ataupun hingga kebijakan lockdown terkait kasus Covid-19 di Jakarta yang meningkat signifikan.
"Nanti kami akan pelajari, tunggu keputusan pusat, ya," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Jumat (18/6) malam.
Riza menekankan pengambilan keputusan untuk menarik rem darurat seperti yang pernah diberlakukan di Jakarta sekitar Februari 2021 tersebut tidaklah terkendala oleh pemerintah pusat.
"Enggak, enggak begitu," ujar Riza, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti, kebijakan rem darurat merupakan kewenangan pemerintah pusat, meski kondisi Covid=19 saat ini mirip seperti Februari saat pertambahan kasus harian tinggi, bahkan menembus angka 4.213 kasus.
"Kebijakan ada di tingkat pusat. Karena (PPKM Mikro) dari pusat," ucap Widyastuti saat ditemui di Monas, Jumat. (antara/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy