jpnn.com - Namanya mentereng dengan gelar profesor doktor. Lebih mentereng lagi, karena dia menyandang gelar bangsawan Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Inggris yang membuatnya berhak menyandang gelar Sir.
Akan tetapi, bagi orang-orang terdekatnya, ia lebih dikenal sebagai Bang Edi yang sederhana dan suka menonton sepak bola—terutama ketika Manchester United bermain--dan mendengarkan musik.
BACA JUGA: Azyumardi Azra Wafat, Moeldoko: Beliau Orang yang Baik
Itulah Azyumardi Azra yang meninggal dunia Minggu (18/9) di Malaysia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Selasa (20/9).
Belum pernah kita saksikan rasa kehilangan yang begitu besar terhadap kematian seorang intelektual seperti yang kita saksikan terhadap almarhum Bang Edi.
BACA JUGA: Jusuf Kalla Beberkan Sumbangsih Almarhum Azyumardi Azra Semasa Hidup
Kita sudah pernah kehilangan beberapa intelektual besar, seperti Noercholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid dari kalangan cendekiawan muslim.
Dari kalangan kampus kita pernah kehilangan cendekiawan besar seperti Soedjatmoko, Umar Kayam, dan beberapa lainnya.
BACA JUGA: Azyumardi Azra Dimakamkan di TMP Kalibata, Menko PMK Sebagai Inspektur Upacara
Kita merasakan kehilangan yang besar ketika para intelektual itu pergi. Ada rasa kekosongan, ada waktu yang kosong, empty time, yang ditinggalkan oleh para intelektual itu.
Azyumardi secara harfiah sudah meninggal dunia, tetapi legasi pemikirannya akan tetap hidup.
Dia akan dikenang sebagai intelektual yang komplet. Wawasan keilmuannya mumpuni di bidang sejarah Islam, sosiologi, dan antropologi.
Dia kemudian turun gunung membuktikan dirinya sebabai intelektual organik ala Gramsci, yang berani berkata jujur terhadap kekuasaan.
Empat bulan terakhir masa hidupnya dibaktikannya sebagai ketua Dewan Pers. Masa yang sangat singkat, tetapi Bang Edi sudah menunjukkan komitmennya untuk menjaga kebebasan pers.
Dengan gigih dia berbicara dengan berbagai kalangan untuk memberi masukan terhadap Rancangan KUHP yang pada beberapa bagiannya mengancam kebebasan pers.
Beberapa tahun yang lalu, Tom Nichols sudah memproklamasikan kematian intelektual, kematian para pakar, dalam bukunya ‘’The Death of Expetise’’.
Dunia digital melahirkan gangguan besar, great disrupstion, di dalam sebuah faset kehidupan, termasuk kehidupan intelektual.
Pada zaman internet sekarang ini tidak ada seorang pun yang bisa mengendalikan kebenaran.
Semua orang merasa menjadi expert, menjadi ahli mengenai apa saja. Tidak peduli seberapa kemampuannya, tidak peduli apakah pengetahuannya memenuhi syarat minimal, dunia internet memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi expert.
Dalam ilmu psikologi ada istilah ‘’Efek Dunning-Kruger’’ fenomena yang dapat didefinisikan sebagai bias kognitif yang mana seseorang keliru menilai kemampuan yang dimiliki diri sendiri.
Individu yang mengalami Dunning-Kruger Effect akan merasa kemampuan mereka jauh lebih tinggi dari yang sebenarnya. Bias ini dikaitkan dengan ketidakmampuan metakognitif untuk mengenali kemampuan mereka sendiri.
Salah satu penyebab terbesar munculnya Dunning-Kruger Effect adalah sifat egoistis. Tentu, setiap orang tidak ingin berpikir bahwa dia adalah orang yang tidak memiliki kemampuan.
Hal ini membuat orang meningkatkan penilaian terhadap dirinya dan mengabaikan kelemahan diri. Dan sering kali hal itu dilakukannya seara sengaja supaya eksis.
Manusia sudah kehilangan jati dirinya dan sudah berubah menjadi ‘’homo digitalis’’ dalam istilah yang dipakai oleh Frankie Budi Hardiman.
Homo digitalis menjadi manusia yang tidak real, karena eksistensi korporeal di dunia nyata berbeda dengan eksistensi di dunia maya.
Di dunia nyata dia bukan siapa-siapa, karena tidak memenuhi kualifikasi intelektual, tetapi di dunia maya dia menjadi expert dengan pengikut jutaan follower.
Dunia digital membuat kita semua mengalami bias konfirmasi, yaitu cenderung hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai.
Kita lebih mencari konfirmasi ketimbang verifikasi. Ini yang disebut Efek Dunning-Kruger.
Otak kita memang sudah tersambung untuk bekerja dengan cara demikian.
Inilah yang disebut sebagai ‘’echo chamber’’ ruang gaung, tempat kita hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengarkan. Inilah yang menyebabkan meruyaknya hoaks dan fake news.
Manusia tidak bisa lagi membedakan fakta dengan hoaks. Kebohongan sudah berubah menjadi ‘’post-truth’’ yang disampaikan tanpa rasa bersalah.
Donald Trump menjadi contoh yang banyak dikutip Tom Nichols untuk membuktikan manusia yang terjangkit Efek Dunning-Kruger.
Selama berkuasa menjadi presiden Amerika Serikat Trump dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa bias konfirmasi menjangkiti semua orang.
Dia menuduh media menyebarkan hoaks dan fake news jika informasinya tak menguntungkan kebijakannya. Apa pun yang merugikan akan ia sebut hoaks dan palsu.
Nichols tidak melakukan riset di Indonesia. Meski begitu banyak kesamaan yang bisa kita lihat terjadi di Indonesia.
Pengambilan kebijakan besar dan strategis dipaksakan tanpa memperhitungkan efek sosial.
Jika proyek jangka panjang belum selesai maka akan direkayasa perpanjangan masa jabatan untuk mengejar target penyelesaian proyek-proyek besar itu.
Itulah Efek Dunning-Kruger versi Indonesia. Kemampuan yang terbatas menjadi hilang oleh ambisi yang berlebihan.
Kita berada pada masa yang sangat berbahaya. Begitu banyak orang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan mempelajari apa pun, termasuk gejala menolak saran para pakar.
Di era internet, kepakaran sudah tak diperlukan. Ketika kita harus mencari tahu tentang sesuatu, kita tak lagi berkonsultasi ke para pakar sebagai sumber terbaik yang dapat kita temukan.
Posisi pakar yang dulu di puncak piramida keahlian, sekarang dianggap sejajar dengan orang awam, bahkan sering lebih rendah.
Euforia media sosial yang memengaruhi hidup kita ditandai dengan ketidakmampuan untuk membedakan antara yang informatif dan yang spekulatif, antara yang proporsional dan yang berlebihan, antara yang bohong dan hoaks.
Apa pun yang dikeluarkan oleh mesin pencari Google dianggap sebagai kebenaran. Dalam urusan agama pun kita mempercayakannya kepada mesin peramban Google.
Intelektual kampus seharusnya berperan menjadi penengah di antara semua kesemerawutan ini. Akan tetapi, yang terjadi, perguruan tinggi, pers, hingga pakar intelektual itu justru ikut terseret masuk ke dalam pusaran, menjadi bagian yang memberi andil dalam keruntuhan intelektual.
Kampus sudah menjadi lembaga bisnis yang dikelola lebih sebagai perusahaan komersial yang profesional. Kematian kepakaran dipercepat dari dalam kampus sendiri.
Azyumardi Azra hidup dalam kondisi seperti itu. Akan tetapi, dia membuktikan bahwa intelektual masih tetap hidup.
Dia menerjunkan diri sebagai intelektual organik yang membela dan menyuarakan kepentingan rakyat akan keadilan. Ia berani berkata tidak kepada penguasa yang terjangkit sindrom ‘’Dunning-Kruger’’.
Masa hidupnya yang relatif pendek didedikasikannya untuk senantiasa menghidupkan dunia intelektual.
Dia berusaha menjadi manusia yang tercerahkan, ‘’Rausan Fikr’’ dalam istilah Ali Shariati.
Konsep Rausan Fikr itu selalu melekat dalam pikirannya, dan dia mengabadikannya sebagai nama salah satu anaknya. Selamat jalan, Bang Edi. (*)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi