jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta segera mengevaluasi pelaksanaan program Kartu Prakerja. Pasalnya, pelaksanaan pelatihan program senilai Rp 5,6 triliun tersebut disinyalir bermasalah dan berpeluang terjadi korupsi.
Pengajar Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menyampaikan program ini menuai kritik publik karena sejak awal kental dugaan konflik kepentingan.
BACA JUGA: Pendaftar Program Kartu Prakerja Melebihi Kuota, Begini Respons Jokowi
Terlebih penunjukan langsung terhadap salah satu mitra pelatihan Kartu Prakerja, Ruangguru, terjadi saat seorang pemimpinnya, Belva Syah Devara, masih menjabat Staf Khusus Milenial Presiden Joko Widodo.
“Ada enggak pengawasan pada program ini? Kontrol proses dan kualitas pelatihannya karena bisa terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan saat pelaksanaannya,” ujar Emrus, kepada wartawan, Kamis (30/4).
BACA JUGA: Ahmad Sahroni Colek KPK: Rp 5,6 Triliun di Kartu Prakerja Itu Uang Rakyat
Direktur Eksekutif Emrus Corner itu mengungkapkan, sulit memastikan program pelatihan Kartu Prakerja berjalan efektif sesuai standar kualitas dan kebutuhannya.
Menurut Emrus, akan lebih baik jika program tersebut dialihkan menjadi bantuan dalam bentuk lain, seperti sembako atau penanaman tanaman bahan pangan alternatif.
BACA JUGA: Kartu Prakerja Jadi Penyelamat Masyarakat di Tengah Wabah Virus Corona
“Benarkah ada dugaan tindak pidana korupsi? Jika ada petunjuk indikasi tindak pidana korupsi, pihak siapa saja yang ada di pusaran dugaaan tersebut?" terang dia.
Bagi Emrus, sayang rasanya jika pelatihan keterampilan hanya ujian soal pilihan ganda tanpa ujian praktik. Dia menegaskan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto harus objektif menyikapi kritik publik pada pelaksanaan pelatihan Kartu Prakerja tersebut.
“Pelatihan Prakerja itu pertanggungjawabannya bagaimana? Kompetensi dan keterampilan yang diperoleh masyarakat sudah sesuai enggak dengan anggaran yang digelontorkan pemerintah?” ungkap Emrus.
“Kita sama-sama tahu jawaban dari pertanyaan itu. Kalau ternyata tidak efektif, tidak signifikan manfaatnya, batalkan saja. Alihkan uangnya untuk bantuan ekonomi yang lebih bermanfaat,” sambung Emrus. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil