Penyidik khusus Komisi HAM PBB untuk Myanmar Yanghee Lee menyatakan keprihatinan mendalam atas rencana Bangladesh memindahkan 23.000 pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil. Dia memperingatkan pulau tersebut kemungkinan tidak layak huni dan bisa memicu krisis baru.

Bangladesh sebelumnya mengumumkan rencana memindahkan para pengungsi ke pulau Bhasan Char untuk mengurangi kepadatan di tempat penampungan pengungsi Cox's Bazar.

BACA JUGA: Indonesia Larang Terbang Sementara Pesawat Boeing 737-8 MAX

Saat ini sekitar 730.000 warga Rohingya ditampung di Cox's Bazar, sekaligus menjadikannya kamp pengungsi terbesar di dunia.

PBB menyatakan minoritas Muslim ini melarikan diri dari pembunuhan massal dan pemerkosaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, sejak Agustus 2017.

BACA JUGA: Australia Perluas Aturan Visa Pekerja Terampil

Sejumlah pihak mengkritik rencana relokasi ini. Mereka menyatakan pulau itu sering diterjang badai dan tidak dapat menyediakan mata pencaharian bagi ribuan orang.

"Ada sejumlah hal yang belum jelas bagi saya bahkan setelah mengujungi pulau itu," ujar Yanghee Lee.

BACA JUGA: Bebas Dari Dakwaan Membunuh Kim Jong-nam, Siti Aisyah Dipulangkan

Termasuk, katanya, apakah pulau itu benar-benar bisa dihuni manusia. Photo: Penyidik khusus Komisi HAM PBB Yanghee Lee mengunjungi pulau yang akan dijadikan tempat penanmpungan pengungsi Rohingya. (Reuters: Denis Balibouse)

"Relokasi yang tak terencana dengan baik serta tanpa persetujuan para pengungsi yang bersangkutan, berpotensi menciptakan krisis baru," kata Lee yang berkunjung ke pulau itu pada Januari lalu.

Pemerintah Bangladesh, katanya, berkewajiban memastikan bahwa pemindahan ini tidak menimbulkan krisis baru.

Pemerintah Bangladesh belum memberikan tanggapan terhadap masalah ini.

Lee, yang dilarang mengunjungi Myanmar, dalam laporannya ke Komisi HAM PBB di Jenewa menyatakan sekitar 10.000 warga sipil melarikan diri dari Rakhine sejak November akibat kekerasan dan kurangnya bantuan kemanusiaan.

Dia mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera membawa kasus ini ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Menurut dia, para pejabat ICC juga datang ke Bangladesh untuk melakukan pemeriksaan awal kasus ini bisa dinaikkan statusnya ke tahap penuntutan.

"Ini yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah langkah kecil ke depan tapi saya sangat berharap hal ini akan membuka banyak kasus lainnya," ujar Lee lagi. Photo: Dubes Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun. (Reuters: Denis Balibouse)

Pada September lalu, jaksa ICC memulai pemeriksaan awal apakah dugaan deportasi paksa orang Rohingya dari Myanmar masuk kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun perwakilan tetap Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, menegaskan pengadilan yang bermarkas di Den Haag dan secara hukum independen dari PBB, tidak memiliki yurisdiksi atas Myanmar.

"Meski pemerintah tidak bisa menerima intervensi ICC yang memang secara hukum meragukan, namun Myanmar siap bertanggung jawab penuh jika ada bukti kredibel terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan di Negara Bagian Rakhine," kata Moe Tun.

Tugas paling mendesak, kata Moe Tun, justru fokus pada upaya pemulangan kembali para pengungsi ke Myanmar - tanpa menyebut kata Rohingya sehingga tak jelas pengungsi mana yang dia maksudkan.

Reuters

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seorang WNI Ikut Jadi Korban Jatuhnya Pesawat ET 302

Berita Terkait