Bantah Network Sharing Hambat Pembangunan Infrastruktur

Selasa, 24 Januari 2017 – 18:41 WIB
Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Ada pihak yang menilai skema berbagi jaringan atau network sharing (NS) akan berdampak pada minimnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Tanah Air.

Pengamat Industri Telekomunikasi, Bambang P Adiwiyoto menilai, kekhawatiran semacam itu tidak beralasan.

BACA JUGA: Skema Berbagi Jaringan Dinilai Pro-Rakyat

Dikatakan, masalah bangun-membangun infrastruktur sudah diatur dalam modern licensing (moli) antara pemerintah dan pelaku usaha di bidang ini.

Mmodern licensing memuat semacam perencanaan pembangunan jangka menengah/panjang.

BACA JUGA: PP Penyelenggaraan Telekomunikasi Mendesak Direvisi

"Di situ lengkap, ada lokasi, wilayah, dan apa saja yang harus dibangun," kata Bambang kepada wartawan, Selasa (24/1).

Atas dasar itu, lanjut dia, tidak mungkin operator tak membangun sesuai perjanjian dengan regulator, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Pasalnya, untuk berada dan berusaha di Tanah Air, mereka harus mematuhi kesepakatan tersebut.

Menurut Bambang, tak ada kaitannya antara network sharing yang bakal diberlakukan via revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 dan 53, dengan kekhawatiran minimnya pembangunan infrastruktur.

"Mereka harus patuh pada modern licensing, itu disepakati bersama," imbuh Bambang.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dengan network sharing maka jaringan telekomunikasi bisa disebar dengan luas.

Langkah pemerintah ini muaranya ada di efektivitas penyebaran jaringan. Pihak yang diuntungkan jelas masyarakat Indonesia sebagai pengguna jasa telekomunikasi.

Dengan pemberlakuan network sharing misalnya, lanjut dia, maka tarif telekomunikasi dan turunannya antar satu operator dan operator lain menjadi murah.

Keadaan ini berlaku sama, konsumen di Pulau Jawa misalnya, merasakan tarif sama murahnya dengan konsumen di Papua.

Selanjutnya, operator telekomunikasi akan berlomba soal kualitas layanan supaya menjadi pilihan masyarakat.

Namun, menurut Bambang, yang terjadi saat ini sangatlah berbeda. Operator masih menjadikan tarif sebagai komoditas.

Hal tersebut tak terlihat jika diteliti hanya di satu wilayah saja. Namun bisa diamati apabila menelepon ke Papua atau wilayah Indonesia Timur, dengan operator yang berbeda.

"Rakyat dengan network sharing itu pasti senang, karena lebih murah. Bagi operator sendiri persaingan lebih ketat dan sehat," kata Bambang yang juga mantan Komisioner KPPU periode 2000-2006 ini.

Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo menilai revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan 53 sangatlah penting bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.

Pernyataan itu untuk menyikapi banyaknya pendapat negatif atas perubahan aturan tersebut.

Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.

Padahal jika dikaji, regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa. Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.

"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur PT Telkom.

Kontribusi peningkatan akses ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia ini akan berdampak besar. Terlebih lagi, pemerintah ingin bahwa tiap kota di negeri ini menerapkan sistem smart city.

Kota atau daerah yang pengaturan dan tata kelolanya berbasis digital tentunya memerlukan akses tanpa batas ke dunia maya.

Capaian ini tentunya tak bisa menafikkan kebutuhan akan internet dengan kecepatan tinggi serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sepakat atas pentingnya dampak pemerataan yang bakal diproses melalui perubahan di PP 52 dan 53.

Namun, yang harus digarisbawahi adalah infrastruktur awal besutan PT Telkom sebagai obyek berbagi jaringan.

Maksudnya, harus ada perhitungan yang tepat untuk mengkonversikan biaya yang akan ditanggung saat skema network sharing dijalankan nantinya.

"Pertanyaannya apabila infrastruktur itu di-sharing, bagaimana penggunaan dana yang sekian lama itu bisa diperhitungkan dengan seadil-adilnya bagi para operator," ujar Syarkawi.

Menanggapi hal itu, Nonot Harsono, Chairman of Mastel Institute, menilai kompensasi atau penghargaan yang terbaik bagi yang telah membangun infrastruktur duluan adalah mendorong agar trafiknya maksimal dengan cara mendorong operator lain untuk menggunakan jaringan yang telah dibangun tersebut.

Sementara terkait pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah rural yang pada umumnya tidak layak investasi bagi operator sudah dimasukkan dalam program dana universal service obligation (USO) yang ditarik dari pelaku usaha di sektor telekomunikasi.

Dana USO ditarik sebesar 1,25% dari pendapatan pelaku usaha. Di luar USO, ada lagi pungutan Biaya Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi sebesar 0,5% yang juga dianggap sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dana ini disetor oleh operator per kuartal ke negara. Sepanjang 2016, terkumpul dana USO sekitar Rp 3,1 triliun.

“Jaringan yang dibangun dengan dana ini seharusnya di-share kepada semua operator yang telah berkontribusi dalam dana USO. Dengan trafik yg tinggi, revenue akan jauh lebih besar atau meningkat drastis sehingga akan jauh lebih cepat balik modal,” paparnya.(rl/sam/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler