jpnn.com - Bagaimana memaknai fakta bahwa golput berjasa mengantar Donald Trump jadi presiden AS? Dan, bisakah ditarik benang merahnya ke Indonesia yang juga tengah bersiap menghelat ronde kedua pertarungan Jokowi vs Prabowo? Berikut wawancara dengan Joko Susanto, dosen hubungan internasional Universitas Airlangga sekaligus direktur eksekutif Stratagem Indonesia.
---
BACA JUGA: Cuit Romi soal Maâruf, Warganet: Kasian Kiai Kami
Hasil survei terbaru pilpres AS menunjukkan angka golput yang tinggi. Apa kira-kira yang mendasarinya?
Mungkin mereka tidak terlalu yakin dengan Hillary, tapi juga tidak tertarik dengan Trump. Tapi, sebagai dampaknya, Trump melenggang lebih mudah. Penurunan terbesar itu justru di basis-basis Demokrat.
BACA JUGA: Jokowi Pilih JK Jadi Ketua Tim Pemenangan Pilpres 2019
Tapi, sejak tahun 80-an, turnout di AS tidak pernah di atas 70 persen. Hanya saat Obama mencalonkan diri, angka partisipasi naik. Program berpengaruh, tapi hanya di swing voter. Pada pemilih tradisional, reÂferensi identifikasi terhadap partai politik jauh lebih berpengaruh. Jadi, sebenarnya pertarungan yang terjadi adalah antara pendukung tradisional masing-masing partai.
Apakah kualitas calon jadi penentu?
BACA JUGA: Prabowo - Sandi Periksa Kesehatan di RSPAD
Kalau identifikasi partai kuat, kualitas calon kadang bisa diabaikan. Di Indonesia identifikasi partai lemah, salah satunya karena kebanyakan partai. Partai mirip-mirip, secara platform atau program tidak jauh beda, yang beda kepentingannya.
Apakah karakter golput di AS dan Indonesia berbeda?
Ya. Di AS karakter golputnya agak beda dengan Indonesia. Di AS jika pendidikannya tinggi, persentase yang datang ke kotak suara justru besar. Kalau pendidikan rendah, malah sangat kecil. Tingkat pendapatan juga pengaruh. Makin kaya, makin memilih. Ini beda dengan Indonesia. Di sini justru tingkat pendidikan rendah, melek politiknya rendah, tapi pergi ke kotak suaranya semangat. Banyak faktor yang mendasari. Salah satunya karena mereka masih berpikir itu kewajiban. Utamanya mereka yang dulu pernah merasakan mobilisasi di era Soeharto.
Apakah politik uang berpengaruh?
Kalau pemilih tingkat pendidikannya tinggi dan makmur, politik uang tak pengaruh. Di sini menjadi berpengaruh karena mereka yang memilih justru yang berpendapatan rendah. Kesadaran berpolitik di AS cukup tinggi. Karena pergi ke TPS itu menentukan hidup mereka. Sebab, siapa yang jadi presiden akan berpengaruh ke kebijakan pajak. Kebijakan itu akan berpengaruh ke pendapatan mereka. Sedangkan yang berpenghasilan rendah merasa tak ada pengaruhnya bagi mereka. Republik selalu mengusung kebijakan pemotongan pajak.
Apakah Pilpres 2019 bakal serupa seperti di AS dengan angka golput tinggi?
Jadi gini, peluang calon untuk memberikan insentif agar orang datang ke tempat pemilihan sangat mungkin lebih rendah daripada Pemilu 2014. Pertama, karena belum-belum sudah ada under expectation dari publik terhadap pilihan (partai), terutama Wapres. Kalau capres kan sudah sesuai dugaan. Ada ekspektasi publik yang terkecewakan. Kalau mau jujur, sebenarnya banyak yang menghendaki Mahfud MD. Tapi, itu sudah ada hitung-hitungan politiknya sendiri. Kemungkinan, pilpres kedua ini tidak sesengit yang pertama. Kalau sengit kan insentif orang untuk datang ke TPS tinggi. Di Indonesia, periode kedua biasanya turnout memang rendah. Termasuk juga saat zaman SBY. Saat pertama, antusiasme tinggi. Jika tidak ada hal yang di luar dugaan, kemungkinan, kita khawatir, turnout bakal lebih rendah dibanding 2014.
Apakah pemilih pemula akan mengubah keadaan?
Pemilih pemula di Indonesia maupun AS termasuk pemilih yang galau. Di Indonesia mereka adalah kaum milenial. Mereka lahir saat Soeharto sudah lengser. Mereka sangat labil dan bergantung dinamika di media sosial. Tapi, transformasi dari media sosial ke kotak suara tak berbanding lurus. Contohnya mahasiswa, mereka jumlah golputnya lebih tinggi daripada ibu-ibu rumah tangga. Padahal, seharusnya kesadaran politik mereka tinggi.
Adakah faktor lain yang berpengaruh?
Politik distrust tinggi sekali. Orang merasa tidak ada artinya mereka memilih atau tidak. Selain itu, banyak orang menghindari menjadi bagian dari yang harus dikenai tanggung jawab jika pilihannya salah. Padahal, itu justru keliru. Itu malah membuat proses kontestasi untuk calon-calon yang tidak dikehendaki jadi lebih mudah. Mudah-mudahan dengan orang Indonesia yang sangat suka pergi ke kotak suara, golput bisa ditekan.
Apakah bakal ada kejutan pemenang seperti halnya Trump mengalahkan Hillary?
Pada 2019, peluang kejutan kecil terjadi. Biasanya terobosan-terobosan yang berisiko untuk mengacak-acak hasil dengan isu-isu emosional dilakukan. Tapi, Jokowi meredam isu SARA dengan Ma'ruf Amin. Mungkin yang dibawa isu-isu aseng. Seberapa jauh isu itu diterima publik, itu akan menentukan. Posisi yang seharusnya memimpin bisa dipertahankan atau tidak. Isu-isu SARA nonagama bisa semasif isu-isu agama juga terutama jika dieksploitasi membabi buta. (sha/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Perintah Habib Rizieq terkait Prabowo - Sandiaga
Redaktur & Reporter : Adil