Banyak yang Masih 'Gelap' di Seputar Inalum

Kamis, 27 Juni 2013 – 07:01 WIB
JAKARTA - Masih banyak persoalan di seputar rencana pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) oleh pemerintah Indonesia pascahabis kontrak dengan Nippon Asahan Alumuniun (NAA) pada Oktober 2013.

Anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar membeber sejumlah persoalan itu. Pertama, hingga sekarang belum jelas siapa yang nantinya akan mengelola Inalum. Memang, santer dikabarkan bakal dikelola BUMN.

Namun, kata Nasril, Kementerian Keuangan (kemenkeu) terlihat punya niat untuk mengendalikan Inalum, lewat Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Ini terlihat dari dana yang disiapkan untuk pengambilalihan Inalum dari APBN 2012 sebesar Rp2 triliun dan dari APBNP 2013 sebesar Rp5 triliun, yang masuk ke PIP.

"Jadi masih mengambang apakah Inalum nantinya di bawah kemenkeu, atau bagaimana. Tapi kita (DPR) mendesak agar dikelola BUMN, karena banyak usaha pemerintah yang disupervisi kemenkeu, tak ada hasilnya. Sudah tidak saatnya kemenkeu mengelola unit usaha. Kemenkeu cukup berperan sebagai bendahara negara," ujar Nasril Bahar kepada JPNN di Jakarta, kemarin (26/6).

Dikatakan, sikap Menteri Perindustrian MS Hidayat, saat rapat dengan Komisi VI DPR pada Selasa (25/6), kata Nasril, juga belum jelas soal siapa yang nantinya akan mengelola Inalum. "Saya tangkap arahnya menteri perindustrian ke BUMN, tapi sebenarnya juga ngambang," imbuh politisi dari PAN itu.

Persoalan kedua yang belum jelas, kata Nasril, terkait dengan nilai kas terakhir. Sampai saat ini, DPR juga belum tahu berapa nilai kas terakhir Inalum. Angka ini penting, kata dia, karena menyangkut berapa uang penyertaan modal yang harus dibayarkan pemerintah saat pengambilalihan nanti.

Pasalnya, nilai kas itu merupakan angka akumulasi keuntungan Inalum dari tahun ke tahun, dimana pemerintah RI juga mendapat pembagian keuntungan dari situ karena punya 41,13 persen saham Inalum.

"Jangan-jangan Rp3 triliun atau Rp4 triliun sudah cukup, tak harus Rp7 triliun," ujarnya.

Persoalan ketiga, proses negosiasi antara tim RI dengan NAA masih alot. NAA ngotot penetapan nilai buku harus berdasar revaluasi aset. Kalau ini dituruti, maka uang yang harus dikeluarkan pemerintah RI untuk proses pengambilalihan, bakal membengkak.

"Kita mendorong tim nego agar tegas, harus berdasar nilai buku yang asli, bukan revaluasi aset karena uang Rp7 triliun itu sudah lebih dari cukup," tegas Nasril.

DPR, sambung Nasril, juga menyampaikan ke Menperin MS Hidayat saat rapat Selasa, agar begitu Inalum diambil alih, sudah tidak ada peran apa pun NAA dalam proses pengelolaannya pasca habis kontrak Oktober 2013.

Persoalan keempat, belum ada kejelasan mengenai berapa share saham Inalum yang akan diberikan ke Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota di sekitar Danau Toba.

"Saya mendesak Pemprov Sumut untuk proaktif bicara dengan tim negosiasi, atau kalau bisa langsung ke Menko Perekonomian," saran Nasril.

Saat rapat, Menperind MS Hidayat menegaskan bahwa per 1 Nopember 2013, 100 persen saham Inalum sudah dikuasai pemerintah RI. Disusul kemudian langkah perombakan struktur manajemen PT Inalum yang akan diisi putra putri RI.

Ditanya siapa yang akan mengelola Inalum nantinya, MS Hidayat berkilah, saat ini pihaknya masih fokus pada proses nego agar bisa mengambil alih 100 persen saham PT Inalum. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenpera Ajak TNI AD Bangun Rumah Swadaya

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler