Baru 10 Persen Miliki Dokumen SVLK

Sabtu, 03 November 2012 – 10:44 WIB
SURABAYA - pelaku usaha mebel masih memiliki waktu untuk menyiapkan persyaratan berkaitan dengan penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Apalagi di jatim, tercatat baru sepuluh persen industri yang sudah mengantongi dokumen SVLK. Sebelumnya, pelaksanaan SVLK dinyatakan ditunda yang seharusnya berlaku akhir Desember tahun ini.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Jatim Samsul Huda mengatakan penundaan itu bakal membuat pelaku usaha leluasa untuk menyiapkan persyaratan yang diperlukan. "Kalau pun baru diberlakukan 2014, setidaknya pengusaha masih ada waktu satu tahun ke depan," katanya saat ditemui di kantornya, Jumat (2/11).

Dia menyebutkan, saat ini dari total anggota Asmindo sebanyak 66 perusahaan, hanya sepuluh persen yang sudah memiliki dokumen SVLK. Hampir sebagian besar perusahaan itu berorientasi ekspor, terutama ke negara-negara yang memang mewajibkan produk kayu impor yang masuk sudah melalui sertifikasi. "Tapi memang hampir 90 persen industri mebel melakukan ekspor, hanya10 persen yang mengandalkan pasar domestik," tandasnya.

Dia menuturkan, rendahnya jumlah pengusaha yang mengantongi dokumen SVLK lantaran kesulitan untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sebab, diakui, banyak perusahaan yang tidak memiliki legalitas secara lengkap. SVLK sendiri mensyaratkan beragam dokumen, seperti surat izin gangguan (HO), surat izin usaha perdagangan (SIUP), surat izin mendirikan bangunan (IMB) sampai standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). "Tidak semua pelaku usaha memiliki semua komponen tersebut," ungkap Samsul.

Selain persyaratan legalitas, biaya sertifikasi dirasa terlalu mahal bagi pelaku usaha, terutama menengah dan kecil. Disebutkan, untuk sertifikasi awal, pengusaha skala menengah dan besar harus mengeluarkan biaya Rp 50-100 juta. Sedangkan skala kecil sekitar Rp 20-30 juta. Sertifikasi itu berlaku untuk periode lima tahun. "Itu belum ditambah biaya audit (surveillance) sebesar Rp 20-25 juta tiap setahun sekali," tuturnya.

Karena itu, pihaknya menginginkan agar ada keringanan dari sisi pembiayaan, sehingga tidak terlalu membebani industri. Sebab, besarnya biaya yang ditanggung oleh industri, bukan tidak mungkin dibebankan pada harga jual produk. "Nah, kalau sudah demikian, apakah produk kita bisa bersaing di pasar internasional," tuturnya.

Sebelumnya, Kementerian Kehutanan menyatakan kebijakan SVLK untuk meningkatkan daya saing dan menekan pembalakan liar  (illegal logging). Serta, sejalan dengan tren dalam perdagangan kayu internasional yang memerlukan bukti legalitas, seperti Amerika dengan Amendment Lacey Act, Uni Eropa dengan EU Timber Regulation, Australia dengan  Prohibition Bill dan Jepang dengan Green Konyuho atau Goho Wood.

"SVLK merupakan inisiatif dan komitmen Pemerintah Indonesia, bukan atas dorongan atau intervensi dari negara lain dalam upaya menjamin legalitas kayu dan produk perkayuan Indonesia yang dipasarkan di dalam maupun luar negeri," kata Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono. (res)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menkeu Diminta Percepat Remunerasi 19 Kementerian

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler