JAKARTA--Indikasi adanya kekerasan dan penyimpangan aparat keamanan dalam penanganan konflik agraria di Mesuji, Lampung, semakin sulit dibantah. Desakan kepada DPR untuk membuat pansus konflik agraria pun kian menguat.
"DPR dalam masa sidang kali ini diharapkan bisa segera membentuk pansus konflik agraria agar kita bisa menata persoalan ini sampai selesai," kata anggota Komisi II Budiman Sudjatmiko di tengah sidang paripurna, kemarin (9/1).
Budiman menyampaikan dirinya baru saja mengunjungi daerah konflik agraria di Lampung, Bima, dan Sumatera Selatan. Dia sangat khawatir Indonesia tengah mendekati ambang revolusi sosial di tingkat pedesaan. "Saat bertemu petani Mesuji, mereka berharap adanya ratu adil. Bukan ratu adil dalam pengertian mesiah atau juru selamat. Tapi, rakyat bersatu angkat bedil," ujar Budiman.
Dalam "orasi" di tengah sidang paripurna itu, Budiman menyebut sejak 2001, terdapat 189 petani atau nelayan yang tewas ditembak, maupun dianiaya. Tercatat 22 korban di antaranya terjadi pada tahun 2011. Budiman lantas mengeluarkan satu bungkus plastik dari dalam tasnya. Dia menunjukkan 18 selongsong peluru yang dikumpulkannya dari desa Sri Tanjung, Mesuji, Lampung, yang menjadi salah satu lokasi bentrok dalam konflik agrarian yang memakan korban jiwa.
"Tadi sudah dikonsultasi ke rekan saya, Pak Tb Hasanuddin dan Pak M.Nurdin (keduanya purnawirawan Polisi sekarang anggota FPDIP, red), peluru -peluru ini standard densus, nato, atau kepolisian," ujarnya. Budiman juga membawa gambar menunjukkan korban penganiayaan dalam kondisi yang mengenaskan di Desa Sodong, Mesuji.
Saat ini, kata Budiman, terdata 2.300 konflik agraria. Akarnya adalah tidak dilaksanakannya UU Pokok Agraria tahun 1960 dan TAP MPR No.XI/2001 tentang Reforma Agraria secara konsisten. Hal ini semakin diperburuk dengan tumpang tindihnya otoritas penanganan agraria yang tersebar diberbagai kementerian.
Ketua DPR Marzuki mengatakan kasus "kasus pertanahan yang saat ini mencuat ke ruang publik baru sebatas fenomena gunung es. Di balik itu terdapat tumpukan kasus yang efeknya tidak bisa diprediksi. Namun, Marzuki tidak sependapat dengan usul pembentukan pansus konflik agraria. Persoalan ini, kata dia, cukup ditangani oleh komisi "komisi terkait di DPR.
"Perlu kita tidak lanjuti oleh komisi di DPR sesuai bidang tugasnya. Kalau menyangkut peraturan perundangan, tugas kita adalah merevisi UU yang tidak adil atau masih tumpang tindih," katanya.
Tapi, pandangan ini ditentang anggota Komisi III dari FPKS Indra. Dia menegaskan persoalan konflik agraria tidak cukup sekedar didelegasikan ke komisi. Harus ada pansus untuk membahasnya secara cepat. "Kita tidak ingin ada Mesuji kedua atau Bima kedua," tandasnya.
Di DPR memang ada sejumlah komisi yang bersinggungan dengan kasus konflik agraria. Misalnya, Komisi II yang memang membidangi pertanahan dan bermitra dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kalau terkait konteks konflik warga dengan aparat kepolisian tentu menyentuh Komisi III yang bermitra dengan Polri. Ketika konflik agraria itu terjadi dilahan kehutanan, ini berhubungan dengan Komisi IV.
Pada bagian lain, muncul inisiatif untuk membentuk panitia khusus terkait konflik agararia. Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain menyatakan, munculnya kasus Mesudi dan Bima disebabkan karena kebijakan pemerintah dan lembaga terkait yang tidak jelas.
"Ketidak jelasan ini menjadi ketidak adilan bagi rakyat. Karena hanya menguntungkan pemilik modal," kata Malik dalam keterangan pers bersama gabungan LSM yang menyebut dirinya Sekretariat Bersama Penyelesaian Konflik Agraria. Bersama Malik juga tampak anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko.
Menurut Malik, dalam mengatasi konflik, pemerintah cenderung berpihak ke investor. Fraksi PKB sudah melakukan penelitian langsung di lapangan. Hasil penelitian itu membuktikan ada keberpihakan penegak hukum kepada pemilik modal. "Pemerintah tidak mampu membela rakyat," ujar Malik.
Fraksi PKB, lanjut Malik, juga sudah melakukan rapat membahas masalah agraria itu. Fraksi PKB menyatakan setuju jika dibentuk Pansus demi menyelesaikan masalah agraria. "Pansus ini juga untuk menginvestigasi cara penegak hukum mengatasi konflik agraria," ujarnya. Dalam hal ini, polisi seharusnya memiliki paradigma mengedepankan kepentingan umum. "Paradigma polisi harusnya civilian," tandasnya. (pri/bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Investigasi KontraS Pastikan Penembakan Terkait Pilkada
Redaktur : Tim Redaksi