jpnn.com - JAKARTA – Saling bantah antarpihak terkait Bawaslu Provinsi Sumatera Utara dengan pengadu calon anggota legislatif untuk DPR RI dari Partai Gerindra, Sortaman Saragih, mewarnai sidang lanjutan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dilangsungkan secara video conference, Selasa (24/6).
Peristiwa saling bantah bermula saat anggota Bawaslu Provinsi Sumatera Utara, Syafrida Rahasan membacakan keterangan tertulis Bawaslu Sumut, terkait dugaan pelanggaran dengan teradu Komisioner KPU Simalungun, Panwaslu Simalungun dan KPU Provinsi Sumatera Utara. Dimana akibat perbuatan para teradu, Sortaman kehilangan 47 suara dari hasil pemilu legislatif 9 April lalu.
BACA JUGA: DKPP Berhentikan 4 Orang Penyelenggara Pemilu
Di hadapan Ketua Majelis Pemeriksa yang dipimpin Saut Sirait, Bawaslu Sumut menyatakan proses perubahan data hasil pemilu dilakukan setelah sebelumnya Bawaslu Sumut menerima pengaduan dari calon anggota DPR dari Partai Gerindra, Martin H Hutabarat.
Bahwa telah terjadi dugaan penggelembungan suara yang diduga dilakukan caleg satu partainya, Sortaman Saragih. Atas pengaduan tersebut, Bawaslu kemudian melimpahkan kasus ke Panwaslu Simalungun.
BACA JUGA: Minta DPR Tutup Peluang Politik Uang di Pemilihan Ketua DPD
“Teradu VI (Ulamatuah Saragih) selaku Ketua Panwaslu telah melakukan verifikasi data yang dimiliki semua pihak. Terhadap hasil verifikasi, ditemukan selisih hasil perolehan suara. Dan kemudian atas temuan, Panwaslu Simalungun merekomendasikan agar KPU Simalungun melakukan perbaikan,” ujarnya.
Atas rekomendasi tersebut, KPU Simalungun menurut Syafrida, telah menindaklanjutinya dan melakukan perbaikan pada 7 Mei dalam rapat pleno penetapan hasil.
BACA JUGA: Pembelaan Terhadap Palestina Bukti Ketegasan Diplomasi Jokowi
Namun atas penjelasan tersebut pengadu menduga para penyelenggara pemilu telah menyalahi aturan dalam proses perubahan hasil pemilu. Menurut Sortaman, secara prosedur seharusnya jika ditemukan ada perbedaan, maka verifikasi seharusnya dilakukan di tingkat kabupaten terlebih dahulu, baru ke tingkat provinsi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Kalau kami melihat ini diputar. Dilakukan di provinsi terlebih dahulu, lalu diinstruksikan agar KPU Simalungun melakukan perubahan sesuai hasil yang ditetapkan KPU Sumut. Ini kan menyalahi aturan, penyelenggara pemilu tidak mengetahui aturan,” katanya.
Syafrida membantah hal tersebut. Mekanisme menurutnya telah dilakukan dengan benar. Bahkan sebelum rekomendasi dikeluarkan, Panwaslu Simalungun membandingkan terlebih dahulu tiga data yang dimiliki. Jika terjadi perbedaan, maka Panwaslu akan mencatatnya sebagai temuan data berbeda.
“Jadi tidak benar perubahan itu dilakukan di tingkat provinsi,” katanya.
Penjelasan ini justru kembali melahirkan perdebatan lanjutan. Pengadu memertanyakan data-data mana saja yang dibandingkan oleh teradu. Pasalnya, dalam data perolehan hasil pemilu tidak ada perubahan. Demikian juga data berdasarkan formulir C1 yang dimiliki pengadu, tidak ada perubahan. Itu sesuai hasil scanning C1 dari kelompok panitia pemungutan suara (KPPS).
“Jadi data pembanding pun juga menyalahi. Tadi ibu bilang ambil data dari KPU, ternyata KPU Simalungun itu baru sidang besoknya di Siantar,” kata Sortaman.
Menanggapi keterangan tersebut, Syafrida menyatakan sebagai bahan data pembanding, Panwaslu diberikan C1 dari KPPS, bukan hasil scanning.
“Kami ralat itu bukan C1 hasil scanning katanya,” ujarnya.
Selain mendengar pemaparan Bawaslu Provinsi Sumut sebagai pihak terkait, dalam sidang kali ini juga turut didengarkan keterangan dari sejumlah pihak-pihak terkait lainnya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat Khawatir Dukungan Ruhut Bumerang buat Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi