BBM Naik, Beralih ke Singkong

Minggu, 04 Maret 2012 – 10:36 WIB

BINGUNG dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak? Jangan, jangan khawatir itu, karena ada solusi lain yang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat Jawa Barat untuk beralih ke BBM yang berasal dari singkong.

Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, tengah gencar-gencarnya mempromosikan sejumlah kelompok masyarakat yang sering mensosialisasikan ‘Gerakan Cinta Singkong’ yang mulai mengolah singkong menjadi bio-etanol pengganti bensin kendaraan.

"Singkong selama ini selalu dipandang rendah sebagai makanan murahan dan merusak lahan. Kami ingin mengubah persepsi itu. Saya selalu memakai bio-etanol singkong itu sejak tahun lalu. Porsinya fifty-fifty, setengahnya bensin biasa setengahnya lagi bio-etanol. Dan alhamdulilah lancar-lancar saja. Tarikan mesin lebih gahar dan bertenaga," tutur Dede di Gedung Sate, Bandung.

Apa motor yang Pak Wagub tunggangi memakai bahan bakar dari singkong tersebut? “Itu tidak cocok, karena oktan yang dihasilkan oleh bio-etanol sangat tinggi.
Oktan yang terkandung lebih dari BBM jenis pertamax. Bahan bakar bio-etanol singkong lebih cocok dipakai untuk kendaraan yang dipacu dengan rpm tinggi seperti motor balap atau mobil balap,” katanya.

Ketertarikan Dede terhadap bio-etanol singkong itu untuk membuka kesadaran masyarakat dan pemerintah mengenai kemandirian energi dan pangan. Melalui singkong, diharapkan dua hal tersebut bisa diantisipasi, karena dikhwatirkan bahan bakar fosil di Indonesia akan habis dalam 25 tahun ke depan.

“Sementara untuk dunia, diprediksi bakal habis 50 tahun lagi. Dan ini saatnya untuk memulai dengan singkong, walaupun bisa dikatakan terlambat karena negara-negara lain sudah melakukannya jauh-jauh hari," katanya.

Sebagai pilot project, kini telah ada sekitar 2.000 hektare kebun singkong yang tersebar di beberapa kabupaten di Jawa Barat antara lain Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor.

Dede memanfaatkan lahan-lahan tidur di daerah tersebut dan juga menyertakan warga setempat. Hal tersebut dirasa penting agar masyarakat bisa melakukannya dan mengembangkan di lahan-lahan tidur lainnya.

Singkong yang ditanam bukanlah singkong biasa. Karena, singkong biasa dari satu batang hanya menghasilkan sekitar 5 Kg. Sedangkan singkong berjenis hibrid dari hasil kultur jaringan dalam satu batang bisa menghasilkan 30-40 kg.

Singkong hibrid bisa disebut bibit unggul. Bisa tumbuh dengan baik di berbagai ketinggian mulai dari 0 meter dpl (di bawah permukaan laut) hingga 1.400 meter dpl.
Airnya tidak banyak, cukup mengandalkan air hujan. Dan yang terpenting, pupuknya bukan pupuk kimia, pupuknya berasal dari ampas singkong. “Kami menyebutnya pupuk bakteri karena banyak bakteri di ampas singkong tadi," jelasnya.

Dari 2.000 hektare kebun singkong tersebut, bisa menghasilkan sekitar 2.000 liter bio-etanol. Artinya, hasil panen singkong hibrid dari 1 hektare lahan, menghasilkan sekitar 1 liter bio-etanol.

Caranya, singkong itu difermentasi dan diambil acinya. Itu sekitar 10 persen dari hasil panen. Sembilan puluh persen sisanya bisa dimanfaatkan untuk tepung, makanan ternak, pupuk dan lainnya. Sepuluh persen yang difermentasi itu nantinya didestilasi menghasilkan bio-etanol dengan oktan tinggi.

‘Gerakan Cinta Singkong’ bisa berkembang di kawasan lain sehingga ada kemandirian energi dan pangan. Diharapkan, jika di setiap kampung dan desa bisa membuat bio-etanol, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil bisa dikurangi bahkan bisa seluruhnya diganti dengan bio-etanol. (tri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Antisipasi Kekurangan Stok, Bulog Tambah 700 Ton Beras


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler