BBM Naik Bukti Tata Kelola Publik Bobrok

Kamis, 01 Maret 2012 – 19:13 WIB

JAKARTA--Pengamat Ekonomi dari Ekonit, Hendri Saparini,  mengatakan langkah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah bukti dari pengelolaan kebijakan publik  yang buruk.

"Pemerintah mengelola sektor yang sangat strategis tapi dengan kebijakan yang asal jadi. Seharusnya baik rencana pembatasan maupun subsidi harus dilihat secara umum dampak keseluruhannya dan jangan hanya terfokus pada rencana untuk mengetatkan anggaran," katanya, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/3).

Semestinya, kata dia, kebijakan itu memberikan manfaat. Pemerintah lanjut dia, mestinya tidak hanya melihat pembatasan subsidi dari untung penghematan anggaran saja.

"Tapi harus dilihat dampaknya secara umum. Pemerintah seharusnya mencermati agar jangan sampai langkah menaikan BBM ini mengganggu daya beli masyarakat dan daya saing industri," kata dia.

"Kalau kita cuma mau menghemat APBN saja, tapi mengurangi daya beli dan daya saing, maka dampaknya bisa lebih besar nilainya terhadap perekonomian nasional,” sambung dia.

Dia mengingatkan, jangan sampai  kebijakan ini justru mendorong peningkatan import karena daya beli dan daya saing rendah terhadap negara lainnya. “Masyarakat jangan diberikan hukuman karena konsumsinya terlalu banyak dengan kebijakan ini," kata dia.

Menurutnya, selesaikan saja kebocoran-kebocoran dari penyaluran subsidi BBM atau kebocoran-kebocoran pemerintah lainnya untuk menghindari dampak yang lebih luas.
"Jangan bocornya belum ditambah, rakyat yang disuruh menanggung hal ini," katanya.

Ia menilai, kebijakan menaikan harga BBM seperti ini namanya kebijakan gampangan dan tidak berpihak pada rakyat. "Pemerintah juga terkesan tidak memikirkan langkah panjang dalam menetapkan kebijakannya," kata dia.

Hendri mencontohkan bagaimana kebijakan pemerintah mengkonversi dari BBM ke gas yang tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai dan juga ketersediaan gas.
Program konversi BBM ke gas yang seharusnya bisa mengembangkan industri baru seperti indusrti konverter mesin, jadi tidak bisa dibuat dan konverter itu harus diimpor yang menguntungkan negara lain.

”Bagaimana mau mengkonversi BBM ke gas, kalau gasnya saja tidak ada di pasar," tambahnya. Menurutnya, program konversi ini seharusnya juga berdampak pada sektor industri lainnya.

Misalnya bisa diciptakan produk konverter buatan Indonesia sehingga terbuka lapangan kerja. "Kalau mau konversi semua mobil misalnya ke gas, kan ada jutaan konverter yang bisa diproduksi. Tapi karena tidak dipikirkan panjang dan hanya dipikirkan tiga bulan dan langsung dilaksanakan maka konverter pun terpaksa harus import dan mahal sehingga program ini tidak berjalan,” kata dia. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua DPR RI Tetap Beli Mobil Esemka


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler