BBM Subsidi Dipertegas

Minggu, 13 April 2014 – 04:42 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Kenaikan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kembali menjadi ancaman defisit neraca berjalan yang bisa berdampak sistemik sampai ke pasar modal dan nilai tukar Rupiah (kurs). Pemerintahan baru ke depan diminta tegas untuk menyelesaikan persoalan nyata yang sudah akut ini.

Chief Economist and Director for Investor Relation PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, mengatakan anatomi defisit neraca berjalan terdiri atas tiga hal yaitu arus barang, jasa, dan pendapatan investasi (income).

BACA JUGA: Apresiasi Pelanggan, Indosat Kopi Darat dengan Komunitas Pecinta Android

Khusus untuk barang terbagi dua yaitu minyak dan gas  (migas) dan non migas. "Yang banyak dibahas hanya subsidi BBM yang itu menyebabkan defisit di migas. Tahun 2014 subisdi BBM sekitar Rp 240 triliun dan tahun ini kemungkinan sama," ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.

Tanpa perubahan strategi dan langkah konkrit untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi BBM bersubsidi maka dikhawatirkan kondisi defisit neraca berjalan tahun ini tidak mengalami perkembangan dibandingkan tahun lalu.

BACA JUGA: BI: Transaksi Elektronik Tidak Rumit

"Di sinilah titik baliknya karena kita bangsa yang tidak sadar (bahaya peningkatan subsidi BBM). Sejak 2004 kita bukan OPEC (negara penghasil minyak) lagi karena terus mengimpor dan subsidi BBM," ungkapnya.

Kondisi fiskal saat ini dinilai Budi sudah tidak sehat dan salah satu persoalan utama yang harus diperbaiki dalam rangka penyehatan fiskal adalah berani mengambil kebijakan tegas untuk mengurangi subsidi BBM.

BACA JUGA: Cabai Rawit Tembus Rp 50 Ribu

"Sudah jelas defisit di migas (akibat peningkatan subsidi BBM) yang membuat fiskal tidak sehat sangat mencederai capital market dan nilai kurs kita tahun lalu. Kita berharap pemerintahan baru nanti menyadari ini dan berani mengambil kebijakan yang memang awalnya pasti dianggap tidak populis," tuturnya.

Kebijakan tidak populis pada awalnya pasti dianggap menyengsarakan itu, menurut Budi, pada akhirnya akan diketahui bahwa itu lah yang memang harus dilakukan untuk masa depan lebih baik.

"Saya masih ingat ucapan Obama waktu pertama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Dia bilang, anda pilih saya bukan untuk ambil keputusan mudah yang akan celakakan kita. Tapi keputusan sulit dan itu sangat penting," Budi menirukan ucapan Obama.

Budi sepakat bahwa subsidi memang harus ada tetapi mekanisme subsidi yang benar sebaiknya bukan dalam bentuk barang seperti dilakukan saat ini terhadap BBM. Subsidi terbaik disalurkan langsung kepada individu masyarakat. Salah satunya bentuk beasiswa kepada pelajar berprestasi.

Kalaupun masih sulit untuk dihilangkan seluruhnya, Budi menilai pemerintah sebaiknya memberikan batasan pasti atas besaran subsidi dari total harga BBM.

"Jadi katakan lah misalnya dipatok subsidinya Rp 2 ribu per liter. Kalau harga per liternya Rp 10 ribu maka harga jualnya Rp 8 ribu, subsidinya Rp 2 ribu itu. Supaya anggaran itu tidak sering diubah karena kredibilitas pemerintah bisa turun kalau sering mengubah anggaran. Tetapi lebih baik lagi jika subsidinya digunakan untuk konversi dari minyak ke gas," pikirnya.

Defisit neraca berjalan dikhawatirkan bertambah parah jika tidak ada kebijakan strategis pada sektor migas sebab defisit dari pos pendapatan investasi (income) yang menciptakan arus modal keluar (capital outflow) belum ada lawan.

"Kalau impor migas dan nonmigas kan ada lawannya yaitu ekspor. Tapi kalau defisit income tidak ada lawan. Sebab banyak perusahaan asing yang investasi di kita kemudian dia bawa pulang keuntungan di sini ke negaranya. Sebaliknya belum ada perusahaan kita yang berjaya di luar negeri melakukan hal sama seperti mereka untuk mengimbanginya," ulasnya.

Data PT Pertamina (Persero) mencatat konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium (bensin) hingga kuartal pertama tahun ini atau sampai dengan 31 Maret 2014 mencapai sekitar 7,1 juta kilo liter (KL) atau 22 persen dari kuota penyaluran Premium Pertamina sebanyak 32,32 juta KL sepanjang tahun ini.
Realisasi ini mengalami kenaikan 1,63 persen dibandingkan dengan periode sama pada 2013 sebanyak 6,98 juta KL.

Sementara realisasi penyaluran BBM bersubsidi jenis solar naik 3,91 persen dari 3,7 juta KL pada kuartal pertama 2013 menjadi 3,85 juta KL pada kuartal pertama tahun ini.

Total kuota penyaluran Solar bersubsidi yang ditugaskan kepada Pertamina tahun ini mencapai 14,14 juta KL sehingga yang sudah terealisasi penyalurannya mencapai sebanyak 27,2 persen.

Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan ketahanan stok BBM Pertamina dalam kondisi aman dengan rata-rata kecukupan untuk 20,73 hari. "Stok Premium dan Solar masing-masing 18,32 hari dan 18,46 hari," katanya.

Kenaikan konsumsi BBM bersubsidi ini menyulut reaksi Menteri Keuangan (Menkeu) yang langsung mengirimkan surat kepada Menteri Perindustrian (Menperin) pada akhir Maret.

Menkeu menyatakan keberatan akibat banyaknya mobil murah ramah lingkungan alias Low Cost Green Car (LCGC) disinyalir mengonsumsi BBM bersubsidi. Sesuai peraturan, LCGC memang dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi.

Merasa dituding, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengusulkan agar subisidi untuk BBM dihapuskan saja sepenuhnya supaya tidak lagi muncul persoalan yang sama.

Usulan penghapusan subsidi ini sesungguhnya sudah disampaikan oleh Gaikindo sejak dua tahun lalu saat pemerintah ramai merancang berbagai strategi untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi.

"Kalau pendapat saya, solusinya hilangkan saja subsidi BBM-nya. Tidak perlu lagi dibantu pemerintah karena yang beli kendaraan ini seharusnya sudah memiliki kemampuan untuk membeli BBM nonsubsidi," kata Ketua Umum Gaikindo, Sudirman M Rusdi, seperti diberitakan koran ini, Sabtu (12/04). (gen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hatta Bilang Paling Penting Percepat Smelter


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler