JAKARTA - Para importer nakal seolah tak pernah jera. Berbagai aksi penyelundupan terus saja terjadi. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pun kini menerapkan terobosan baru di bidang kepabeanan.
Direktur Jenderal Bea Cukai Agung Kuswandono mengatakan, pihaknya kini memberlakukan joint audit atau audit bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memperketat pengawasan impor. "Kick off sudah dimulai sejak 4 Februari lalu," ujarnya di DPR, Selasa (12/3).
Apa itu joint audit? Menurut Agung, terobosan ini merupakan kerja sama DJBC dan DJP untuk menguji tingkat kepatuhan para importer besar. Nantinya, DJBC dan DJP akan salinmg bertukar data dan melakukan investigasi bersama terhadap perusahaan yang ditengarai melakukan pelanggaran kepabeanan, misalnya tidak memberikan data yang valid dalam dokumen impornya.
"Mungkin saja. Selama ini mereka bisa lolos dari Bea Cukai, tapi nanti bisa ditelusuri pajaknya," katanya.
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan mengimpor barang berupa mesin sebanyak 100 unit, tapi yang dilaporkan ke DJBC hanya 70 unit. Hal seperti itu bisa saja lolos dari pengawasan DJBC karena impor dilakukan dalam bentuk spare part terurai atau terpisah.
Karena itu, DJP akan melakukan cross check pada laporan pajak perusahaan tersebut. Jika dalam laporan tersebut menyebutkan aset 100 unit mesin, maka perusahaan tersebut bisa dikenai sanksi karena melakukan pelanggaran kepabeanan.
Pada kasus lain, sebuah perusahaan dalam pembayaran pajaknya melaporkan produksi sekian unit produk jadi. DJP kemudian bisa memeriksa laporan dari DJBC terkait perusahaan tersebut ketika mengimpor bahan baku. Dari perhitungan tersebut, bisa dianalisa, apakah laporan pajak perusahaan tersebut realistis atau tidak.
Agung menyebut salah satu sasaran opearsi joint audit ini adalah importer barang-barang bermerek atau branded goods. Sebab, penangkapan atas KM Kelud beberapa waktu lalu menemukan ribuan tas, jam tangan, dan barang-barang bermerek lain yang coba diselundupkan. Tidak tertutup kemungkinan, aksi penyelundupan sudah dilakukan sebelumnya. "Ini salah satu contoh saja, tapi perusahaan di semua sektor bisa saja menjadi obyek joint audit," ucapnya.
Agung mengakui, saat ini DJBC dan DJP sudah memiliki daftar perusahaan yang akan menjadi target joit audit. Namun, dia tidak bisa mempublikasikannya karena masih dalam tahap pemeriksaan. "Intinya, kita ingin agar joint audit ini bisa membenahi behavior (perilaku, Red) pengusaha agar lebih patuh, tidak lagi mencoba-coba menyelundupkan barang karena akan ketahuan," jelasnya.
Anggota Komisi XI DPR Achsanul Qasasi mengatakan, pelaksanaan joint audit tersebut layak diapresiasi karena menjadi langkah terobosan besar bagi DJBC dan DJP. "Ujungnya, tentu kita harapkan agar hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan negara, baik dari pajak maupun bea cukai," ujarnya. (owi)
Direktur Jenderal Bea Cukai Agung Kuswandono mengatakan, pihaknya kini memberlakukan joint audit atau audit bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memperketat pengawasan impor. "Kick off sudah dimulai sejak 4 Februari lalu," ujarnya di DPR, Selasa (12/3).
Apa itu joint audit? Menurut Agung, terobosan ini merupakan kerja sama DJBC dan DJP untuk menguji tingkat kepatuhan para importer besar. Nantinya, DJBC dan DJP akan salinmg bertukar data dan melakukan investigasi bersama terhadap perusahaan yang ditengarai melakukan pelanggaran kepabeanan, misalnya tidak memberikan data yang valid dalam dokumen impornya.
"Mungkin saja. Selama ini mereka bisa lolos dari Bea Cukai, tapi nanti bisa ditelusuri pajaknya," katanya.
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan mengimpor barang berupa mesin sebanyak 100 unit, tapi yang dilaporkan ke DJBC hanya 70 unit. Hal seperti itu bisa saja lolos dari pengawasan DJBC karena impor dilakukan dalam bentuk spare part terurai atau terpisah.
Karena itu, DJP akan melakukan cross check pada laporan pajak perusahaan tersebut. Jika dalam laporan tersebut menyebutkan aset 100 unit mesin, maka perusahaan tersebut bisa dikenai sanksi karena melakukan pelanggaran kepabeanan.
Pada kasus lain, sebuah perusahaan dalam pembayaran pajaknya melaporkan produksi sekian unit produk jadi. DJP kemudian bisa memeriksa laporan dari DJBC terkait perusahaan tersebut ketika mengimpor bahan baku. Dari perhitungan tersebut, bisa dianalisa, apakah laporan pajak perusahaan tersebut realistis atau tidak.
Agung menyebut salah satu sasaran opearsi joint audit ini adalah importer barang-barang bermerek atau branded goods. Sebab, penangkapan atas KM Kelud beberapa waktu lalu menemukan ribuan tas, jam tangan, dan barang-barang bermerek lain yang coba diselundupkan. Tidak tertutup kemungkinan, aksi penyelundupan sudah dilakukan sebelumnya. "Ini salah satu contoh saja, tapi perusahaan di semua sektor bisa saja menjadi obyek joint audit," ucapnya.
Agung mengakui, saat ini DJBC dan DJP sudah memiliki daftar perusahaan yang akan menjadi target joit audit. Namun, dia tidak bisa mempublikasikannya karena masih dalam tahap pemeriksaan. "Intinya, kita ingin agar joint audit ini bisa membenahi behavior (perilaku, Red) pengusaha agar lebih patuh, tidak lagi mencoba-coba menyelundupkan barang karena akan ketahuan," jelasnya.
Anggota Komisi XI DPR Achsanul Qasasi mengatakan, pelaksanaan joint audit tersebut layak diapresiasi karena menjadi langkah terobosan besar bagi DJBC dan DJP. "Ujungnya, tentu kita harapkan agar hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan negara, baik dari pajak maupun bea cukai," ujarnya. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP Dorong Penyempurnaan UU Migas
Redaktur : Tim Redaksi