jpnn.com, JAKARTA - Bareskrim Polri menyita ribuan sim card yang telah teregistrasi dari lokasi penangkapan pelaku kejahatan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika menyebutkan, untuk meregistrasi kartu SIM ponsel tersebut membutuhkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
BACA JUGA: Mayjen Hasanuddin: Saya Akan Menindak Tegas Oknum Anggota TNI AD yang Terlibat Kasus Tersebut
"Dari pengungkapan ini, setidaknya ada beberapa stakeholders yang perlu ada kami tingkatkan kerja samanya, pertama adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika, karena faktanya dari ribuan sim card tersebut sudah teregistrasi," kata Helmy dalam konferensi pers virtual di Bareskrim Polri, Kamis.
Dia menjelaskan, koordinasi yang dilakukan untuk mengetahui mengapa ribuan sim card tersebut bisa sudah teregistrasi, padahal masyarakat umum mengetahui, registrasi untuk satu kartu perdana menggunakan NIK.
BACA JUGA: Pengantar Paket Online Ditemukan di Pinggir Jalan, Tangan dan Kaki Terikat, Mulut Disumpal
"Dan aturannya register NIK itu maksimal kalau tidak salah untuk dua kartu. Nah, kalau ribuan seperti ini perlu didalami dari Kominfo dan Dukcapil," ujar Helmy.
Helmy mengatakan selain itu, pihaknya juga akan mendalami alur keuangan yang ada pada pinjaman online ilegal tersebut. Karena, cicilan yang harus dibayarkan peminjam menggunakan virtual account (akun virtual).
BACA JUGA: Prajurit TNI Temukan Karung, Setelah Dibongkar, Ini Isinya
"Di sini kami berkoordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk bisa sama-sama ke depan kalau ada peristiwa seperti ini bisa saling mengisi dan melengkapi," kata Helmy.
Dalam pengungkapan tersebut, Dit Tipideksus Bareskrim Polri menangkap delapan orang pelaku pinjol ilegal.
Penangkapan terhadap para pelaku dilakukan di tiga lokasi berbeda, yakni dua orang di Medan, Sumatera Utara, satu pelaku di Tangerang, Banten, dan lima pelaku di Jakarta Barat.
Peran para pelaku, dua orang di Medan sebagai penagih utang (debt collector), satu pelaku di Tangerang bertugas memerintahkan debt collector menagih utang, dan lima orang operator yang menjalankan aplikasi serta mengirim pesan serentak (blasting).
Delapan pelaku ini menjalankan usaha pinjol dengan aplikasi bernama Kredit Simpan Pinjam (KSP) Cinta Damai.
Dalam praktiknya, para pelaku menawarkan pinjaman dengan iming-iming, dan melakukan kejahatan seperti menagih hutang dengan cara memfitnah dan menistakan si peminjam, seperti mengedit foto tidak senonoh, dan mengirim pesan-pesan menagih utang dengan kata-kata tidak terpuji, lalu menuduh peminjam sebagai bandar narkoba.
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 45 Ayat (3) Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 8 Ayat (1) huruf f Jo. Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan atau Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atas Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dan atau Pasal 311 KUHP.
"Ancaman hukum untuk seluruh pasal maksimal lima tahun," kata Helmy.
Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, Dit Tipideksus Bareskrim Polri telah mengungkap dua kejahatan pinjol fiktif. Juni 2021 lalu, ada lima tersangka ditangkap dengan aplikasi benama RPCepat, dan dua warga negara Tiongkok sebagai operator juga diburu.
Pengungkapan kali ini juga melibatkan warga negara asing yang saat ini sedang diburu dan diajukan Daftar Pencarian Orang (DPO). (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti