jpnn.com, JAKARTA - Belakangan ini capres nomor urut 01 Joko Widodo alias Jokowi kian bersuara lantang. Tidak cuma diam, tetapi merespons serangan lawan politik dalam Pilpres 2019. Jokowi tak segan-segan menyerang.
Di sisi lain, oleh kubu Prabowo-Sandi, Jokowi disebut sedang panik akibat elektabilitas makin mepet sehingga memakai strategi menyerang.
BACA JUGA: Peringati HUT HMI, Akbar Tanjung Nyatakan Dukung Jokowi
Ketua TKN Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Erick Thohir pun meluruskan, bahwa Jokowi tidak asal mengambil sikap. Erick berangkat dari pernyataan pihak Prabowo-Sandi yang berusaha menggoreng seakan-akan Jokowi panik karena selisih elektabilitas kedua pasangan itu makin mengecil.
Menurut Erick, dari fakta yang ada, berdasarkan hasil riset lembaga survei resmi dan diakui KPU, selisih suara kedua pasangan minimal 20 persen. Hanya ada dua lembaga survei yang menyatakan selisihnya sudah berkurang. Yakni lembaga Media Survei Nasional (Median) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).
BACA JUGA: Jokowi Mulai Agresif, Airlangga: Itu Gaya Beliau
"Harus lihat track record. Harus berkaca pada lembaga survei yang asosiasinya masuk ke KPU. Jadi lembaga survei yang diakui KPU itu memberi data kedua paslon itu bedanya masih 20 persen," kata pengusaha muda pendiri Grup Usaha Mahaka itu.
Erick menjelaskan, pada 2014, Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memutuskan untuk mengeluarkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari keanggotaan Persepi. Pangkal masalahnya, kedua lembaga tak bisa mempertanggungjawabkan publikasi hasil hitung cepat Pilpres 2014 bahwa Prabowo-Hatta unggul dengan selisih 1-2% suara.
BACA JUGA: Dukung Jokowi, Akbar Tanjung: Saya Tidak Mengatasnamakan HMI
Nah, lanjut Erick, kalaupun survei Median dan Puskaptis itu hendak diakui, jika dihitung rata-rata selisih elektabilitas kedua pasangan calon, masih di angka 15-18 persen. Semuanya dengan kemenangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Sehingga aneh bila disebut Jokowi-Ma'ruf panik.
Yang terjadi seharusnya adalah sebaliknya. "Intinya, kalau dikatakan Jokowi panik karena survei, jawabannya tidak," kata pria yang ikut menginisiasi penyelenggaraan turnamen sepak bola Piala Presiden itu.
Kedua, soal terminologi ofensif. Erick mengaku bahwa dirinya pernah bicara bahwa Tim Jokowi-KH Ma'ruf sudah saatnya ofensif. Pernyataan dikeluarkan saat rapat koordinasi tim hukum TKN, yang dihadiri Yusril Ihza Mahendra. Konteks ofensif itu adalah pihak Jokowi-Ma'ruf sering dilaporkan ke Bawaslu tanpa data akurat oleh pihak lawan.
"Jadi saya katakan, sudah selayaknya tim hukum kami ofensif melaporkan dengan fakta dan data," kata sosok yang sukses memimpin penyelenggaran Asian Games 2018 di Jakarta itu.
Masalahnya kemudian, pihak lawan langsung memelintir. Ketika tim hukum melakukan pelaporan berdasarkan data dan fakta yang ditindaklanjuti secara serius oleh aparat, langsung diisukan telah terjadi kriminalisasi. "Mereka tak bisa membedakan kriminalisasi dengan penegakan atas fakta hukum. Ini perlu saya tegaskan supaya fair," imbuhnya.
Jokowi sendiri, dalam beberapa hari terakhir, sebenarnya hanya menyampaikan isi hatinya. Bahwa isu yang ada selama ini sebenarnya terbalik-balik. Ketika sebagai petahana Jokowi dituduh melakukan kriminalisasi, yang terjadi sebenarnya adalah Jokowi dizalimi. Yakni dengan dicap sebagai antek asing, PKI, antek aseng, dan lain-lain. Dan semua penzaliman itu sudah dimulai sejak 2014 dengan terbitnya Obor Rakyat.
"Jadi kalau sekarang beliau menjawab, itu lumrah. Sebab kalau tak menjawab, nanti fitnah itu dianggap benar. Anehnya, ketika beliau menjawab, dikatakan beliau panik dan ketakutan. Justru beliau sedang menyampaikan data dan fakta, yang selama ini diputarbalikkan," kata Erick.
(Baca: Jokowi Mulai Agresif, Airlangga: Itu Gaya Beliau)
"Contoh saja, soal konsultan asing. Di media sosial sudah ada buktinya keberadaan orang asing di belakang BPN. Propaganda Rusia itu yang dimaksud adalah konsultan asing yang dipakai. Dan kami tahu, beliau lebih tahu, konsultannya bukan satu atau dua saja. Dari negara lain juga ada," beber Erick.
Dia menekankan bahwa yang dilakukan Jokowi bukanlah menyerang, tetapi menyampaikan data dan fakta. Dan semuanya dilakukan dengan hitung-hitungan yang cermat.
Erick lalu membuka salah satu hasil survei usai debat pertama lalu. Hasilnya, debat tak mempengaruhi pemilih militan yang sudah ada. Data pemilih Jokowi dari empat bulan lalu hingga usai debat pertama berada di angka 54 persen. Begitu pun pemilih Prabowo-Sandi di angka 31 persen. Sebanyak 82 persen pemilih menyatakan tidak mengubah lagi pilihannya.
Nah, ada pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter). Mengambil data Lingkaran Survei Indonesia, angkanya di 18 persen. Mereka inilah yang dicoba ditarik suaranya. Dan bagi Jokowi-Ma'ruf, caranya adalah dengan menyampaikan fakta dan data ebenarnya atas hal-hal yang selama ini diputarbalikkan. "Ya soal isu dan fitnah PKI lah, antek asing dan antek aseng lah," ujarnya.
Selain itu, disadari perlunya penekanan soal prestasi-prestasi Jokowi yang selama ini belum maksimal disampaikan. Seperti soal pembangunan infrastruktur. Dirasakan masih kurang untuk menjelaskan bahwa pekerjaan itu punya imbas jangka pendek. Berupa waktu perjalanan lebih efisien hingga menurunnya harga sembako akibat biaya transportasi menurun. Di luar imbas jangka pendek, ada imbas jangka panjang di mana berbagai industri akan tumbuh sejalan dengan pembangunan infrastruktur.
"Intinya menjelaskan ada manfaat jangka pendek dan ada jangka panjang. Sama seperti menanam pohon buah, kan tak ujug-ujug langsung berbuah. Ini yang bagaimana undecided voters perlu dijelaskan. Lalu selanjutnya bagaimana Pak Jokowi akan kembangkan sumber daya manusia kita," bebernya.
Erick menegaskan, pihaknya tidak akan berhenti menyampaikan hal itu seperti yang dilakukan oleh Jokowi. Khususnya selama data dan fakta yang ada terus diputarbalikan. Pihaknya akan menggunakan data sebanyak mungkin untuk mendukung semua materi yang ada.
"Kenapa pakai data? Contohnya begini. Paslon 02 menjanjikan gaji pegawai akan dinaikkan. Tapi di lain pihak, dia tak konsisten karena menurunkan pajak negara. Dari mana untuk membiayainya? Apakah nanti negara kita kayak Venezuela atau Yunani yang krisis? Yunani krisis karena pemasukan dan pengeluaran tak seimbang. Makanya bicara harus pakai data," pungkas Erick. (adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Akui Perlu Serangan dalam Kampanye
Redaktur & Reporter : Adek