Masalah bela negara ingin diserahkan semuanya ke tentara dan polisi. "Padahal tugas bela negara tidak hanya terbatas pada dua institusi tersebut. Bela negara adalah kewajiban semua warga negara," kata Ketua Umum Gerakan Bela Negara (GBN) M Sabil Rachman dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/11).
Konfernsi pers dilakukan dalam rangka musyawarah pimpinan (Muspim) GBN di Makasar, Sulawesi Selatan, 16-18 Nopember mendatang. Muspim rencannya dihadiri 250 peserta yang mewakili Dewan Pimpinan Daerah GBN seluruh Indonesia
Ditegaskan, GBN ingin kembali membangkitkan semangat bela negara dalam masyarakat. GBN bertekad merevitalisasi ide bela negara.
Dikatakan Sabil, selama ini bela negara lebih dipahami bersifat fisik. Kedepan, bela negara harus lebih ke hal-hal yang soft power. Misalnya, bela negara dalam konteks menjaga dan mengembangkan kebudayaan, mencegah dominasi investasi asing, mempertahankan hasil-hasil bumi dari penguasaan oleh kelompok asing atau segelintir orang pengusaha, dan bentuk bela negara lainnya.
.
Sabil menilai, semangat bela negara terutama surut sejak masa reformasi 1998. Hal itu disebabkan karena semua produk yang dianggap warisan Orde Baru dihilangkan. Akibatnya, pelajaran Pancasila dan UUD 1945 dalam sekolah yang menjadi modal dasar dalam konsep bela negara juga hilang. Padahal pelajaran Pancasila itu sangat penting karena memuat pemahaman menyangkut bela Negara.
“Kami ingin memperjuangkan agar pelajaran Pancasila kembali diajarkan di sekolah-sekolah. Memang tidak berupa doktrin seperti pada Orde Baru, tetapi lebih ke pemahaman dan pengetahuan akan bela Negara,” ujar Sabil yang juga kader Partai Golkar ini.
Sementara Sekjen GBN Mustafa M Radja menyampaikan maraknya gerakan yang melawan asas persatuan, kejujuaran, keadilan dan kedamaian dalam masyarakat akhir-akhir ini.
Menurutnya, maraknya berbagai kasus kekerasan di Tanah Air tersebut memberikan kabar bahwa agenda reformasi yang sejatinya diarahkan untuk mendorong perbaikan di berbagai bidang kehidupan ternyata jauh dari selesai.
Reformasi malah membangkitkan kembali sentiment primordial berbasis agama, etnis, dan sosial-budaya. Gagasan demokrasi sebagai mendium pendewasaan politik berbasisi kebebasan, kesetaraan dan keadilan belum sepenuhnya berkembang secara memuaskan.
Meski secara kuantitatif demokrasi mengalami perkembangan pesat terutama dalam hal partisipasi politik, namun kualitas demokrasi terus merosot tajam. Demokrasi hanya melanggengkan kekuasaan kelompok mayoritas tanpa disertai kebijakan dan kearifan untuk melindungi minoritas dan kelompok-kelompak terkalahkan.
Ironisnya, lanjut dia, negara yang semestinya melindungi dan menjamin keanekaragaman justru bertindak lamban, bahkan cenderung melakukan pembiaran. Di samping gagal mempelopori perubahaan karena meluasnya kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme, negara juga semakin tersandera oleh berbagai kekerasan dan anarkisme kelompok.
Akibatnya, kehidupan kebangsaan dilanda ketakutan dan kekecewaan karena hilangnya keadilan, keamanan, dan kedamaian.
Karena itu, GBN ingin merevitalisasi ide bela Negara. GBN ingin meningkatkan konsolidasi dalam masyarakat agar semakin mampun merespon dan mengatasi berbagai persoalan kebangsaan secara terencana dan sistematis.
GBN juga bertekad meningkatkan pemahaman konseptual masyarakat tentang empat pilar bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kami ingin menggugah segenap komponen bangsa unguk meningkatkan kembali kecintaan terhadap bangsa dan negara dengan menerima dan konisten terhadap empat pilar bangsa. Empat pilar itu sebagai harga mati karena menjadi penentu kemajuan, kesejahteraan sekaligus mencegah berbagai potensi disintegrasi bangsa,” pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendadak, Jaksa Agung Mutasi Lima Kajati
Redaktur : Tim Redaksi