Belajar dari Al-Ghazali tentang Memandang Hubungan Sains dan Agama

Rabu, 08 Juli 2020 – 18:32 WIB
Ulil Abshar Abdalla. Foto: Instagram Ulil

jpnn.com, JAKARTA - Pemikir Islam, Ulil Abshar Abdalla, mengungkapkan saat ini diskursus relasi agama dan sains masih menjadi ‘arena’ bagi para pemikir dari berbagai belahan dunia.

Hasilnya, ‘tema klasik’ ini memunculkan ragam narasi. Tak sedikit yang ada, justru seolah membelahnya secara diametral. Bahkan, dalam beberapa kasus sampai saling menegasikan.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Kabar Baik untuk FPI, Anak Mantan Presiden Terima Suap, Eh Ada Djoko Tjandra

Hubungan agama dan sains memang terus mengalami pasang surut. Lantas, apakah keduanya perlu dipertentangkan atau memang bertentangan?

Menurut Ulil, ada latar belakang sejarah yang tidak bisa diabaikan, yang pada akhirnya melahirkan perdebatan tentang hubungan agama dan sains.

BACA JUGA: Gus Mis: Bung Karno Sangat Berjasa Untuk Umat Islam Dunia

“Sebetulnya agak unik, sains dan agama dibentrokkan. Itu sebetulnya khas sejarah barat,” kata dalam diskusi daring bertajuk ‘Sains dan Agama’ akhir pekan lalu melalui akun Youtube Technoe Institute, baru-baru ini.

Menurut Ulil, tarik menarik agama dan sains tidak begitu kuat di luar negara-negara di Eropa Barat.

BACA JUGA: Sayap Islam PDIP: Mungkin Mereka Salah Minum Obat

Tak sedikit negara yang ilmu pengetahuannya maju, justru tidak pernah ada masalah atau bahkan mempertentangkan hubungan keduanya.

Islam pun sebenarnya tidak ada. Hanya di dunia ‘barat’ saja, masalah hubungan agama dan sains itu muncul.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini menjelaskan, sejarah munculnya pertentangan agama dan sains terjadi ketika orang-orang di Eropa Barat memiliki trauma kepada agama.

Salah satu sebabnya, dulu ketika gereja berkongsi dengan dengan negara atau penguasa, para tokohnya mempraktikkan agama yang bengis terhadap sains.

Praktik ini, lanjut Ulil, akhirnya membuat para saintis dendam kepada gereja. Maka ketika Charles Darwin menemukan teori evolusi, para saintis menyambut gembira.

“Karena mereka kemudian mengatakan, ini sekarang kita punya teori baru untuk menjelaskan variasi kehidupan yang tidak berdasarkan ketuhanan ala gereja,” ujar dia.

“Sementara kita sebagai umat Islam sebetulnya nggak ada masalah, karena kita tidak mewarisi trauma. Orang-orang ‘barat’ lah yang mewarisi trauma agama,” tambah Ulil.

Masalahnya, kata dia, dunia barat sekarang sangat dominan dalam segala bidang, mulai dari peradaban ilmu, terutama dalam peradaban sains.

Karena itu, pandangan barat yang melihat agama dan sains sebuah konflik, ini bisa memengaruhi banyak orang.

Karena itu, menurut Ulil, ketika umat Islam belajar sains, sebaiknya mendengarkan saran Al-Ghazali. Bagaimana penulis kitab Ihya Ulumuddin itu memandang sains?


Al-Ghazali memandang sains

Ulil mengatakan, Al-Ghazali dalam memandang sains memiliki keunikan. Selama ini, penulis kitab Ihya Ulumudin itu justru dituduh sebagian orang sebagai ‘pembunuh’ filasafat.

Namun, kenyataannya tidak demikian. “Orang yang berpendapat begitu, pasti tidak pernah sungguh-sungguh membaca karya-karya Al-Ghazali,” ujar Ulil.

Al-Ghazali membagi sains menjadi enam bagian. Pertama, riyadiyyat atau ilmu matematika. Kedua, manthiqiyyat atau ilmu logika. Ketiga, thobi’iyyat yaitu ilmu fisika.

Kata Alghazali, ketiganya ini tidak ada urusan dengan agama. Semua itu diterima dalam Islam. Karena itu netral isinya.

Keempat, lanjut Ulil, adalah akhlaqiyat atau filsafat moral tentang aturan baik buruk. Kelima siyasiyyat, yakni tentang ilmu politik atau bernegara. Al-Ghazali menilai, baik akhlaqiyat maupun siyasiyyat keduanya tidak ada masalah dalam garis besar.

Yang menjadi masalah, kata Ulil, adalah ilmu filsafat yang spesifik terkait poin keenam, yaitu ilahiyyat atau kaitannya dengan aqidah.

“Terkait pandangan orang Yunani mengenai masalah ketuhanan, itu yang bermasalah dari sudut aqidah Islam,” kata Ulil.

Siapa yang dimaksud Ulil ‘orang Yunani’?

Sebelum menjawab pertanyaan sebelumnya, Ulil menjelaskan tentang tradisi besar sains. Ada dua tradisi besar sains.

Pertama, kata Ulil, adalah Aristotelian. Kedua Demokritos. Aristotelian inilah yang dikembangkan dan diwarisi sains Muslim.

Menurut Ulil, istilah filsafat dalam sejarah Islam bukan seperti filsafat masa sekarang. Kini, filsafat merupakan satu disiplin keilmuan yang dipelajari di fakultas filasafat. “Dulu bukan seperti itu,” ujar dia.

Pada zaman Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Khindi, Al-Ghazali, Ibn Rusyd sampai era sesudahnya, kata Ulil, yang disebut filsafat adalah ilmu yang mencakup berbagai cabang keilmuan. Di dalamnya ada matematika, fisika, biologi, termasuk ada ilmu teologi.

Tetapi teologi yang dimaksud di sini bukan didasarkan kepada wahyu. Namun, pemikiran ketuhanan yang berdasar observasi naturalistik, berdasarkan observasi terhadap fenomena-fenomena alam.

“Maka mereka berkesimpulan ada Tuhan di balik alam raya ini,” ujar dia.

Ulil melanjutkan, dalam filsafat ada juga ilmu filsafat politik dan filsafat moral. Jadi, yang disebut filsafat pada masa klasik dulu berarti sains di masa saat ini.

Istilah falsafah, kata dia, tidak bisa dipahami dalam pengertian sekarang. Karena zaman klasik, disiplin ilmu belum mengalami spesialisasi yang rumit seperti sekarang.

“Jadi falsafah dalam tradisi Islam di dalamnya itu ada sains. Ada fisika, ada biologi, ada kimia, ada astronomi. Tetapi juga ada matematika ada logika. Jadi kalau disebut filosof, itu juga sekaligus saintis,” ujar Ulil.

Pada masa klasik, kata Ulil, ada dua jenis ilmu. Pertama adalah ilmu kewahyuan. Kedua, ilmu-ilmu yang basis sumbernya bukan wahyu tetapi observasi ataupun penalaran rasional. Di zaman Al-Ghazali, disiplin ilmu itu terangkum ‘gelondongan’ yang disebut filsafat itu.

Maka semua pengetahuan yang sumbernya bukan kitap suci adalah falsafah. Sementara semua pengetahuan yang bersumber kepada wahyu disebut dengan ilmu agama. Dalam bahasa Al-Ghazali, kata Ulil, disebut al-ulumul syar’iyyah.

Orang Yunani yang dimaksud Ulil yakni Aristoteles. Tradisi sains Aristoteles inilah yang diikuti banyak filosof Muslim di era berikutnya. Sebab, Aristoteles mempercayai di balik alam raya ada Sang Penggerak atau Al-Muharrik.

Dalam filsafatnya, kata Ulil, Aristoteles menyatakan bahwa alam itu qodim, sama dengan Tuhan. Artinya, bagi Aristoteles, alam tidak ada permulaan. Alam dari dulu ada, dan sampai kapanpun ada. Dan Al-Ghazali, kata Ulil, menolak ini. Al-Ghazali berpandangan bahwa pendapat tersebut bukan sains, tapi ‘aqidah’ Aristoteles.

Di sisi lain, lanjut Ulil, tradisi sains Demokritos tidak mempercayai Tuhan. ‘Ideologinya’ persis dengan sebagian saintis modern di dunia barat saat ini, yang pleh para filosof muslim disebut thabi’iyyun atau orang-orang yang pandangannya materialistik.

Ulil menambahkan, ketika Kristen mewarisi filsafat Yunani melalui para filosof Muslim belakangan, mereka juga sama. Mereka sangat berpihak kepada tradisi sains Aristoteles. Baru setelah abad ke-16 sampai 17, ketika sains modern muncul, sains ala demokritos muncul ke permukaan.

“Selama ratusan tahun sejak era Islam sampai era modernitas dalam sejarah Eropa, ilmu yang berkembang sebenarnya ilmunya Aristoteles. Salah satu ciri sains Aristoteles adalah segala hal, ada tujuan di baliknya. Karena itu cocok dengan visi orang beragama,” ujar Ulil.

Dalam diskusi yang sama, Kepala Pusat Kecerdasan Artifisial dan Teknologi Kesehatan ITS, Agus Zainal Arifin, mengatakan, diakui atau tidak, konflik antara sains dan agama memang terjadi. Agama di sini bukan hanya Islam, tapi semua yang mempercayai adanya Tuhan.

Menurut Agus, sebagai orang Islam yang beriman, jika sudah meyakini bahwa kitab suci Alquran benar, maka tidak perlu seorang Muslim mencari pembenaran. “Apalagi itu dengan pseudosains, sesuatu yang sepertinya benar untuk mendukung Alquran. Dan kita tidak boleh insecure terhadap Alquran,” ujar dia.

Mantan dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi ini menyatakan, orang yang ingin meraih kebahagiaan duniawi harus menggunakan ilmu, kebahagiaan akhirat pun harus pula dengan ilmu.

“Hakikatnya sains dan teknologi adalah ilmunya Allah. Tidak perlu dipertentangkan,” ujar Agus.

Direktur Eksekutif Technoe Institute Ardy Maulidy Navastara mengatakan, diskusi ini sebagai forum edukasi kepada masyarakat bahwa agama dan sains memang bukan dua hal yang bertentangan dan tidak untuk dipertentangkan.

Bahkan ketika Islam mencapai puncak kejayaan dalam bidang sains, tokoh-tokohnya adalah seorang muslim yang sangat taat.

“Lalu untuk apa dihadap-hadapkan jika keduanya sejatinya adalah milik Allah,” ujar Ardy.  (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler