Belanja Daerah Tahun 2013 Masih Belum Pro Publik

FITRA Minta Honor Panitia Diklat dan Workshop PNS Dihapus

Minggu, 23 Desember 2012 – 06:30 WIB
JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memprediksi wajah kebijakan fiskal di daerah yang tertuang dalam APBD tahun 2013 belum akan banyak berubah. Mayoritas daerah diperkirakan masih menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk belanja pegawai, sehingga APBD yang pro publik masih jauh dari harapan.
     
"Tahun depan kami masih pesimistis anggaran yang pro rakyat di APBD akan terealisasi. Mungkin ada beberapa daerah yang bisa menjadi contoh best practices, tapi secara umum APBD mayoritas daerah tetap tidak proporsional atau masih didominasi belanja pegawai," kata Koordinator Riset FITRA Maulana di Jakarta, Sabtu (22/12).
     
Penyebab utamanya, menurut dia, terdapat masalah regulasi yang belum diselesaikan. Sampai saat ini, instansi pusat yang berwenang untuk mengatur anggaran daerah, belum mengeluarkan aturan tunjangan jabatan kepada PNS.

Instansi pusat itu bisa kementerian dalam negeri, maupun kementerian keuangan. Yang sudah ada baru sebatas pengaturan tunjangan bagi pejabat negara dan pejabat daerah. "Tunjangan untuk PNS yang lain ini harus diatur agar belanja pegawai bisa dikontrol," katanya.
     
Dia mencontohkan tunjangan untuk level staf level bawah di DKI Jakarta berkisar antara Rp 2,9 juta sampai 4,7 juta per bulan. Bahkan, tunjangan untuk eselon I bisa mencapai Rp 50 juta. "Karena nggak ada aturan, daerah "daerah bisa seenaknya saja," ujar Maulana.

Maulana berharap janji menteri keuangan untuk mengeluarkan regulasi mengenai proporsi belanja pegawai di APBD, termasuk batas tunjangan pegawai, direalisasikan secepatnya. Ini agar APBD tahun depan di daerah bisa mengikutinya.

"Bagi daerah yang belum menetapkan APBD sampai 31 Desember, bisa mengacu ketentuan ini. Sedangkan, daerah-daerah yang terlanjur sudah menetapkan APBD bisa merevisinya pada APBD perubahan," tegasnya.
     
FITRA juga rekomendasikan penghapusan honorarium pegawai yang dianggarkan dalam setiap kegiatan seminar, rapat, pelatihan, diklat, atau workshop di lingkungan pemerintah daerah. Terobosan ini diyakini akan menurunkan jumlah alokasi anggaran belanja pegawai secara signifikan dalam satu tahun.

"Dalam setiap workshop, diklat, atau kegiatan sejenis di pemda, pasti ada honor pembina dan panitia yang notabene pegawai sendiri. Padahal, itu sudah menjadi pekerjaan mereka. Mengapa ada honor "honor lagi?" kritik Maulana.

Dia menggambarkan dalam satu tahun anggaran terdapat 100 kegiatan diklat dan workshop di bawah koordinasi sekda. Sebagai pembina, sekda mendapatkan honor antara Rp 2-3 juta per kegiatan tergantung daerahnya. Kalau dikalkulasi, dalam setahun seorang sekda bisa mengumpulkan Rp 200-300 juta hanya dengan menjadi "pembina kegiatan".
     
Sedangkan, setiap panitia mendapatkan honor antara Rp 500 ribu-1 juta per kegiatan. Praktek seperti ini, tegas Maulana, berkonstribusi besar terhadap membengkaknya belanja pegawai.
     
"Daerah sering mengeluhkan kekurangan anggaran untuk program pro rakyat. Padahal, kalau anggaran itu memang mau dikelola secara baik, benar, dan proporsional, mereka bisa merealokasikan anggaran belanja pegawai," kata Maulana.

Pertengahan tahun lalu, FITRA merilis terdapat 302 daerah yang pada tahun 2012 mengalokasikan lebih dari 50 persen APBD-nya untuk belanja pegawai. Bahkan, terdapat 11 daerah yang belanja pegawainya di atas 70 persen. Posisi lima teratas adalah Kota Langsa di NAD (77 persen), Kabupaten Kuningan di Jawa Barat (74 persen), Kota Ambon di Maluku (73 persen), Kabupaten Ngawi di Jawa Timur (73 persen), dan Kabupaten Bantul di Jogjakarta (72 persen).
     
Maulana mengingatkan saat ini mayoritas dana transfer pusat ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) habis untuk menutupi belanja pegawai. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar daerah tidak memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup untuk membiayai kebutuhan belanja pegawainya. Sehingga, pemda menggunakan DAU.

"Kami semakin prihatin, birokrasi yang gemuk dan belanja pegawai yang jumbo itu ternyata tidak diikuti dengan peningkatan pelayanan publik," kritik Maulana.

FITRA juga meminta moratorium atau penghentian sementara rekrutment CPNS dijalankan secara konsisten sampai akhir tahun 2013. "Ini untuk mencegah terjadinya penggemukan PNS yang akhirnya memicu kebutuhan untuk membiayai pegawai menjadi sangat tinggi," katanya. (pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengusaha Kuatkan Daya Saing Buah Lokal

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler