Benang Kuning Jokowi-Ahok

Oleh; Mohammad Hailuki*

Jumat, 05 Agustus 2016 – 04:04 WIB
Presiden Joko Widodo saat menghadiri penutupan Rapimnas Partai Golkar 2016 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - TERLALU naif rasanya apabila kita menganggap peristiwa reshuffle kabinet sebagai sebuah hak prerogatif semata seolah hanya fenomena politik biasa yang tidak ada perkaitan dengan variabel-variabel lainnya. Perombakan kabinet tidak sekadar menyempurnakan puzzle yang terserak, tidak pula sebatas pergantian pemain di lapangan, dan bukan hanya tambal sulam jahitan, tetapi lebih dari itu.

Dalam sebuah pemerintahan, di negeri mana pun, postur sebuah kabinet selalu mencerminkan kesepakatan serta kepentingan politik yang ada di dalamnya. Kepentingan elite politik secara individu maupun lembaga, kepentingan partai politik pengusung, kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam bangunan kekuasaan, dan kepentingan kelompok-kelompok bisnis tertentu. Lebih jauh lagi, ada kepentingan ideologi yang terpantul dari cermin kekuasaan.

BACA JUGA: Hamdalah, KTT WIEF ke-12 Berjalan Aman

Sebagaimana dikemukakan Robert Michels (1968), penampilan rezim demokrasi bisa mengelabui mata para pengamat yang tidak berhati-hati. Tampilan demokratis kerap menjadi jubah dari sebuah kekuatan oligarkis yang bersembunyi di balik selubung demokrasi.

Pun demikian disampaikan Jeffrey A Winters (2013), para oligarki dapat melekatkan diri tidak hanya pada bangunan otoritarian, melainkan juga rezim demokrasi. Kaum oligarki bukan monopoli para politisi, tetapi multiprofesi yang digerakkan oleh pencarian kekuasaan dan kekayaan.

BACA JUGA: Bareskrim Kembali Bekuk Penebar Kebencian di Facebook

Peristiwa reshuffle kedua Kabinet Kerja pada 27 Juli 2016 memunculkan pergeseran posisi dan pencopotan sejumlah menteri. Mereka yang bergeser adalah Luhut Pandjaitan yang semula menjabat menteri koordinator (menko) polhukam menjadi menteri koordinator (menko) maritim dan sumber daya. Sahabat dekat Wapres Jusuf Kalla, Sofyan Djalil pun digeser dari kursi menteri perencanaan pembangunan nasional merangkap kepala Bappenas menjadi menteri agraria dan tata ruang.

Pergeseran juga dialami Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Bambang menjadi kepala Bappenas menggantikan Sofyan, sedangkan Lembong menjadi kepala BKPM.

BACA JUGA: Pengamat: Sikap DPR Tak Pengaruhi Amnesti Buat Din Minimi

Sedangkan reshuffle yang dan menimbulkan keheranan di publik adalah pencopotan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, serta Menteri ESDM Sudirman Said. Ketiga nama populer itu justru dianggap memiliki integritas dan gebrakan dalam menjalankan tugas, khususnya Rizal Ramli yang beberapa pekan menjelang reshuffle kabinet sangat gencar memerangi proyek reklamasi  pantai utara Jakarta.

Publik tentu masih ingat bagaimana perseteruan antara Rizal dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok terkait proyek pulau buatan tersebut. Atas nama pemerintah pusat, Rizal mencabut izin reklamasi Pulau G yang dikelola oleh kelompok usaha properti kelas kakap.

Padahal, Ahok telah menerbitkan SK Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberikan izin kepada perusahaan properti itu untuk melakukan reklamasi Teluk Jakarta. Tak ayal, Ahok pun melaporkan tindakan Rizal kepada Presiden Jokowi.

Pendek kata, kisruh Pulau G merupakan salah satu ‘adegan panas’ dalam episode sebelum reshuffle dilangsungkan.

Tanduk Banteng Tumpul?
Fenomena lain yang juga menarik untuk kita cermati adalah tidak ampuhnya desakan PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu dan Pilpres 2014 yang meminta Presiden Jokowi agar mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno melalui rekomendasi Pansus Pelindo di DPR. Presiden Jokowi seolah menganggap pekik lantang PDIP hanya angin lalu.

Mantan Gubernur DKI yang kerap disebut petugas partai itu justru tetap mempertahankan Rini dan Sofyan Djalil yang dibidik Pansus Pelindo. Praktis, partai berlambang banteng dengan tanduk tajam tersebut tidak mendapatkan apa-apa dari refhuffle kabinet kali ini.

Tak ada nama populer seperti Maruarar Sirait, TB Hasanuddin atau Rieke Diah Pitaloka yang kerap digadang-gadang masuk kabinet untuk menambah jatah kursi menteri bagi PDIP. Apakah tanduk banteng kini tumpul? Mungkin analogi itu terlalu berlebihan, tapi yang jelas hubungan antara Jokowi dan PDIP tampak agak merenggang.

Justru Jokowi kini semakin menguning. Apa pasal? Berdekatan dengan momentum reshuffle kabinet, Partai Golkar membuat beberapa manuver politik yang mengagumkan.

Tanpa ragu partai pimpinan Setya Novanto ini mengumukan deklarasi ganda, yaitu mendapuk Jokowi sebagai calon presiden 2019 dan mengusung Ahok menjadi calon gubernur pada Pilkada DKI 2017. Kini, Jokowi dan Ahok bisa berteduh sementara waktu di bawah rindangnya rimbun beringin.

Golkar menyalip PDIP dalam sekejap dan Setya Novanto menerima ganjaran tambahan kursi kabinet dengan masuknya Airlangga Hartarto sebagai menteri perindustrian menggantikan Saleh Husin. Dengan demikian Golkar punya tiga kader resmi di kabinet, yaitu Luhut Pandjaitan, Nusron Wahid dan yang terbaru Airlangga Hartarto.

Adapun Sofyan Djalil, meski bukan portofolio Golkar namun tetap bernuansa kuning karena dikenal sebagai dekat sahabat Jusuf Kalla.

Dalam pada itu, semenjak Golkar secara resmi menyatakan akan mengusung Ahok sebagai cagub DKI, PDIP pun kian menjauh dari politikus asal Belitung tersebut. Meski komunikasi politik tetap dilakukan, namun belakangan semakin santer PDIP akan mengusung kadernya sendiri untuk bertarung di ibu kota negara. Tiga perhelatan akbar yaitu perombakan kabinet, pilkada DKI 2018 dan Pilpres 2019 kini terikat oleh rajutan benang kuning, bukan lagi benang merah.

Beberapa Konsekuensi
Kemesraan Jokowi dan Golkar bukanlah sebuah manuver tanpa risiko. Ada beberapa konsekuensi yang harus Jokowi terima, pertama, hubungan Jokowi dengan PDIP khususnya Megawati Soekarnoputri rawan mengalami perenggangan. Karena secara tersirat Jokowi ‘menerima’ pengusungan dirinya sebagai capres oleh Golkar mendahului sikap Teuku Umar (baca: kediaman pribadi Megawati).

Jokowi juga secara ‘merangkak’ mendukung Ahok yang otomatis akan menampatkannya dalam posisi berlawanan dengan asumsi PDIP mengusung nama lainnya.

Konsekuensi kedua, citra positif Jokowi akan tergerus oleh citra negatif Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar. Kisah ‘papa minta saham Freeport’ akan terus menggelayut dalam benak pikiran masyarakat. Rekaman percakapan rahasia Setya dengan Mohammad Reza dan Ma’roef Sjamsoeddin akan terus terputar dalam memori publik. Bahkan yang terburuk akan terbangun persepsi negatif terkait jatah saham tersebut.

Lalu konsekuensi ketiga, lantaran Golkar adalah representasi partai borjuis dan kapitalis, maka mantra Trisakti Soekarno yang selalu diagungkan Jokowi sebagai landasan perjuangannya akan semakin diragukan masyarakat. Jokowi akan dibenturkan dengan mazhab ekonomi kerakyatan dalam program Nawacita. Artinya, ada potensi massa marhaen perlahan menjauhi Jokowi.

Semua konsekuensi ini tentu disadari oleh Jokowi. Sebagai politikus tentu Jokowi pasti punya kalkulasi tersendiri, apalagi angka survei kepuasan publik atas kinerjanya cukup menenangkan hati. Karpet istana memang merah namun singgasananya tetap kuning.(***)

*Penulis adalah pemerhati politik Universitas Nasional Jakarta dan pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Kata Pakar Soal Dugaan Pelanggaran Etik Politikus PPP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler