Benarkah Kurang Tidur Sebabkan Perilaku Menyimpang?

Sabtu, 06 Juli 2019 – 04:08 WIB
Ilustrasi sedang tidur. Foto : Pixabay

jpnn.com - Apakah Anda merasa mudah emosi setelah semalam tidak nyenyak atau kurang tidur? Sesungguhnya, otak cenderung “memberontak” dengan berbagai cara saat waktu istirahat tidak mencukupi. Salah satunya, melalui wujud perilaku yang negatif dan menyimpang.

Para pakar menganggap bahwa kurang tidur sama buruknya dengan kondisi mabuk. Ini karena kurang tidur dapat mengubah persepsi seseorang terhadap informasi yang diterima.

BACA JUGA: Kiat Agar Tidur Anda Lebih Nyenyak

Kurang tidur picu sikap negatif

Menurut studi yang dimuat dalam Academy of Management Journal edisi Oktober 2011, kurangnya waktu tidur membuat seseorang lebih sulit mengendalikan emosinya di tempat kerja. Orang yang seperti ini cenderung bereaksi negatif, yaitu dengan berperilaku menyimpang atau menunjukkan sikap bermusuhan terhadap situasi sulit maupun yang berpotensi membuat frustrasi.

BACA JUGA: Ketahui 5 Dampak Kurang Tidur Bagi Kesehatan Kulit

Kesimpulan tersebut didapat setelah peneliti melakukan survei pada 171 perawat di awal dan akhir jam kerja mereka. Sebelum mulai bekerja, partisipan diminta untuk melengkapi kuesioner yang dirancang untuk mengukur tingkat kurang tidur, kontrol diri dan sikap bermusuhan (hostility). Di akhir jam kerja, yakni 12 jam kemudian, partisipan ditanya apakah mereka melakukan perilaku negatif selama bekerja, misalnya memberi komentar yang menyakitkan atau sengaja melambatkan ritme kerja.

Setelah semua uji coba selesai dilakukan, hasilnya mengatakan bahwa perilaku negatif lebih sering dilakukan oleh perawat yang waktu tidur di malam sebelumnya kurang dari 6 jam. Untuk mengonfirmasi hasil ini, peneliti yang sama melakukan studi lanjutan terhadap 75 mahasiswa sekolah bisnis. Studi yang berupa eksperimen ini bertujuan untuk melihat apakah kurang tidur berhubungan dengan sikap bermusuhan dan berperilaku curang.

BACA JUGA: Sering Tidur dengan Mulut Menganga? Segera Cari Solusi

Dalam studi lanjutan, mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok. Mereka yang tergabung dalam kelompok pertama diminta untuk tetap terjaga selama 2 kali 24 jam. Sedangkan kelompok kedua diminta untuk tidur seperti biasanya, yakni tidak kurang dari 7 jam setiap malam sebelum percobaan dimulai.

Pada percobaan pertama, kedua kelompok diminta untuk menanggapi satu set surat elektronik (surel) dari calon mahasiswa yang tertarik mendaftar ke sekolah bisnis tersebut. Partisipan sudah diberitahu bahwa tanggapan terhadap para pelamar potensial mewakili sekolah bisnis mereka.

Surel dari para calon mahasiswa dibuat sedemikian rupa sehingga mengandung sejumlah kesalahan tata bahasa dan ejaan, serta komentar negatif tentang sekolah bisnis tersebut. Selanjutnya, tanggapan partisipan terhadap surel-surel itu akan ditandai dengan sistem kode tertentu dan dinilai berdasarkan derajat pantas atau tidaknya. Seperti, apakah partisipan mengolok-olok si pengirim, mengutuk, atau memuat pernyataan-pernyataan yang bernuansa SARA.

Secara bermakna, peneliti mendapatkan hasil bahwa partisipan yang kurang tidur cenderung menggunakan bahasa-bahasa yang negatif dan tak pantas dalam surel balasan. Artinya, partisipan yang kurang tidur lebih sulit mengendalikan emosi ketimbang mereka yang waktu istirahatnya lebih baik.

Dalam percobaan kedua, partisipan diminta untuk terlebih dulu mengisi sebuah pre-test untuk mengukur kemampuan menggunakan logika. Selanjutnya, partisipan diminta untuk mengisi tes yang sama, namun dengan iming-iming bahwa akan menerima 1 dolar untuk setiap jawaban benar sesuai penilaian mereka. Setelah selesai, partisipan dipersilakan mengambil uang tunai dari amplop di dalam ruangan untuk sejumlah jawaban yang dianggapnya benar.

Dari uji coba kedua, peneliti mendapati bahwa partisipan yang kurang tidur lebih cenderung berperilaku curang dengan mengambil lebih banyak uang daripada yang seharusnya didapat.

Mengapa kurang tidur pengaruhi perilaku?

Di masa lampau telah ditemukan bahwa kurang tidur dapat mengganggu fungsi korteks prefrontal. Ini adalah area otak yang mengatur emosi dan kemampuan mengendalikan diri.

Wujudnya, suasana hati menjadi lebih buruk, cenderung menghindari kontak sosial dan lebih sulit mengelola emosi maupun perilaku yang negatif. Secara intuitif, hal ini membuat orang lain cenderung menghindar darinya.

Kendati begitu, masih diperlukan studi lanjut untuk benar-benar memastikan bagaimana mekanisme otak yang kurang maupun cukup tidur dalam mempersepsikan dan bereaksi terhadap suatu informasi.

Adakah efek yang serius?

Bagi sebagian orang, efek kurang tidur mungkin tak lebih dari sekadar rasa kantuk di jam kerja. Namun, bagi para pemberi kerja, hal tersebut bisa menimbulkan konsekuensi yang serius. Terutama, bagi mereka yang bergerak di bidang layanan jasa, di mana dibutuhkan kemampuan komunikasi dan perilaku yang baik.

Pekerja yang kurang tidur tentu akan lebih sulit mengatur atau menyembunyikan emosi negatif sehingga lebih mungkin untuk “menyerang” pelanggan atau pasien yang komplain dengan kata-kata atau perilaku yang tak pantas. Baik pekerja maupun pemberi kerja akan sama-sama mendapatkan efek kurang menyenangkan akibat perkara ini.

Konsekuensi lain berkaitan dengan kesehatan jiwa jangka panjang. Selain menimbulkan rasa lelah dan kantuk, kurang tidur kronis dapat “menjerumuskan” seseorang ke dalam situasi yang menekan sebagai akibat dari perilaku yang menyimpang. Bila ini berlangsung terus-menerus, timbulnya depresi dan gangguan kesehatan jiwa lainnya tak bisa dihindari lagi.

Jadi, coba introspeksi bagaimana kualitas dan kecukupan waktu tidur Anda selama ini. Apakah Anda kurang tidur atau sudah cukup? Bagaimanapun, tak cuma fisik, otak juga membutuhkan waktu istirahat yang cukup agar mampu fokus dan berpikir jernih sehingga tidak menimbulkan perilaku menyimpang.(NB/ RVS/klikdokter)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahaya Kurang Tidur Bagi Kesehatan


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler