jpnn.com, JAKARTA - HIMPUNI (Perhimpunan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia) kembali menggelar diskusi seri dua mengenai RUU Omnibus Law di Kampus UGM SP, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (13/2).
Dalam diskusi ini empat pembicara dihadirkan, mereka yakni Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Sukarmi.
BACA JUGA: Omnibus Law Disebut Mempermudah Revisi Undang Undang
Kemudian, Staf Khusus Menteri Perhubungan Republik Indonesia Prof. Wihana Kirana Jaya dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto.
Pada kesempatan pertama, Robert menjelaskan desain institusi negara saat ini belum terlalu mendukung perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, kemudahan perizinan untuk melakukan investasi.
BACA JUGA: Menaker Tegaskan Komitmen Pelindungan Tenaga Kerja dalam Omnibus Law
Padahal, kata Endi, pemerintah telah menggagas OSS (Online Single Submission) sejak 2018 untuk menyederhanakan proses perizinan. Hanya saja, sistem OSS pelaksanaannya cukup sulit karena hanya satu daerah saja yang mampu, yaitu Kabupaten Sidoarjo.
“Sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan investor. Sebab, negara ini menarik bagi investor untuk datang,” ujar Endi.
BACA JUGA: Harapan Publik Akan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
“Namun, ada kendala antara investor yang telah mengurus perizinan berinvestasi dengan realisasinya,” terang lulusan Departemen Politik Pemerintahan FISIPOL UGM ini.
Penuturan Endi diperkuat dengan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sepanjang tahun lalu. Dari 190 kasus investasi yang mengalami hambatan, 32,6 persen di antaranya terkendala karena perizinan.
Karena itu, RUU Omnibus Law hadir untuk merombak pendekatan dalam pemberian izin. Meski begitu, Prof. Wihana menegaskan bahwa investasi bukan sekadar fungsi dari regulasi.
Sebab, Omnibus Law hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi yang hendak dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh kabinet Indonesia Maju.
Wihana berharap, RUU Omnibus Law mampu menjadi pengatur bagi pemerintah, pasar, dan pengusaha. Hal itu agar tumpang tindih peraturan tidak terjadi, selain juga mengurangi biaya transaksi ekonomi.
Sementara, Purwadi menyatakan hal yang senada mengenai fenomena tersebut. Dia mengatakan, memang ada banyak hal yang mesti direvisi pada level tertinggi.
“Ketika undang-undang tidak dikoreksi, seluruh proses akan berhenti,” ujar Purwadi.
Lulusan Fakultas Kehutanan UGM ini menambahkan, ada dua hal yang mejadi pokok penting dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Yakni pembangunan kembali ekosistem investasi dan mengedepankan peran UMKM.
Di sisi lain, Purwadi menilai ada budaya minor yang sulit diubah dalam pengurusan sebuah perizinan. Dia memandang, bahwa dahulu perizinan merupakan buah transaksi antara pemberi izin dan klien.
Purwadi mencontohkan, untuk pengurusan Amdal (Analisis dampak lingkungan )saja, seorang investor mesti menunggu lama dan mengeluarkan biaya hingga miliaran rupiah.
Lebih lanjut, Purwadi menjelaskan bahwa ke depan tidak semua usaha mesti berbasiskan Amdal. Usaha dengan skala menengah misalnya, cukup dengan UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) atau UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Selain itu, di sektor usaha pengelolaan hasil hutan, pengusaha kelak diupayakan untuk memegang satu izin saja untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada di wilayah usahanya.
“Butuh langkah ekstrem untuk menjadikan Indonesia sebagai negara efektif dalam hal birokrasi,” tutur Purwadi.
“Pengaturan pada level PP dan Pepres diharapkan dapat lebih mengefektifkan rantai birokrasi,” katanya.
Sementara itu, Sukarmi menyimpulkan bahwa suatu landasan mesti dipenuhi ketika membuat sebuah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini RUU Omnibus Law. Landasan itu adalah filosofis, sosiologis, politis, yuridis, dll.
Pertanyaannya, kata Sukarmi, apakah RUU Omnibus Law sudah memenuhi landasan tersebut. Dia khawatir RUU ini kelak menjadi UU ‘siluman’ yang kemudian dinilai tidak bisa diterima masyarakat.
Pasalnya, Indonesia, yang berbasis civil law system, dinilainya masih terlalu awam untuk menerapkan Omnibus Law yang dikenal di negara berbasis common law system.
“Queensland (negara bagian Australia) membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuat UU Omnibus Law,” ungkapnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy