Beras Picu Inflasi, Bukan BBM

Sabtu, 21 Januari 2012 – 02:52 WIB

JAKARTA - Selain pembatasan BBM bersubsidi dan konversi BBM ke bahan bakar gas, pemerintah pun menimbang-nimbang opsi kenaikan harga BBM subsidi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menilai opsi menaikkan harga ini harus diadakan lantaran tak diketahui secara persis pergerakan harga minyak mentah ke depan, menyusul masalah seperti di Selat Hormuz terkait proyek nuklir Iran.

Hanya, Hatta mengakui, keinginan menaikkan itu sepertinya bakal sukar terwujud karena terganjal UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. "Terkendala Undang-Undang APBN 2012 yang menutup opsi itu (menaikkan harga BBM subsidi)," katanya Hatta yang ditemui di Jakarta Convention Center, Senayan, Jumat (20/1).

Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi VII DPR memang tengah berupaya agar opsi menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut tetap ada. Jalan yang bisa ditempuh mempercepat pembahasan APBN-P atau menerbitkan  peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) supaya opsi itu terbuka. "Maka, pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM dan Komisi VII DPR tampaknya akan mencari kesepakatan bagaimana agar opsi itu ada," terang Hatta.

Pemerintah akan mengambil keputusan menaikkan harga BBM, apabila keadaan dan waktu telah tepat. Sebab, banyak pertimbangan perlu dilakukan kajian dalam pengambilan keputusan.

Kendati demikian, terus Hatta, pemerintah tidak ingin memfokuskan pada pilihan kenaikan harga BBM tersebut terlebih dahulu. Pasalnya, strategi saat ini ialah bagaimana membatasi dan mengonversi BBM menuju gas. "Strategi kita mendorong ke arah gas harus tetap sukses," ujarnya lagi.

BBG dipakai pada angkutan umum dan mobil pribadi. Bahkan, angkutan umum mendapat alat konversi gas secara cuma-cuma, juga memperluas penyediaan bahan bakar gas. "Angkutan umum didorong ke gas supaya lebih murah," tukasnya.

Pemerintah memang berupaya menekan subsidi BBM dengan mengalihkan kendaraan dari menggunakan BBM menjadi BBG, atau tetap menggunakan BBM tapi bukan jenis premium melainkan pertamax. Tetapi, Menteri ESDM Jero Wacik mengungkapkan, rumitnya persiapan pemerintah untuk mengkonversi penggunaan BBM menjadi BBG turut memicu adanya pertimbangan untuk menaikkan harga premium.

Salah satunya adalah usulan Komisi VII DPR yang meminta opsi kenaikan harga BBM dibuka. Bahkan, Wamen ESDM Widjajono Partowidagdo menawarkan pilihan dengan menaikkan harga premium untuk mobil pribadi secara bertahap. Sebagai contoh dia mengilustrasikan mulai 1 April harga BBM bersubsidi naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000. Lantas naik menjadi Rp 7.000 per liter pada 2013, dan pada 2014 mencapai harga pasar sekitar Rp 8.000 per liter.

Plt Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyampaikan, pemerintah tak usah khawatir jika opsi yang dipilih dengan menaikkan harga premium. Pasalnya, laju inflasi tengah stabil-stabilnya. Menurut dia, BBM bukanlah faktor utama pemicu melonjaknya inflasi, tapi harga beraslah faktor terbesar pengaruh inflasi.

"Kalau inflasi stabil jadi tidak usah khawatir. Tapi besaranya itu yang harus kita hitung. bisa Rp 500 bisa Rp 1.000 per liter," ujar Suryamin.

Tercatat, inflasi dalam negeri sepanjang 2011 stabil dan terkendali. Inflasi pada Desember 2011 sebesar 0,57 persen. Laju inflasi tahunan di 2011 mencapai 3,79 persen, angkanya di bawah perkiraan pemerintah sebesar 5,3 persen yang juga menerapkan angka sama di 2012.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga mengusulkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Menaikkan harga akan lebih efektif dalam menekan subsidi energi. Hanya saja, kebijaksanaan tersebut tetap harus dibarengi upaya pemberdayaan masyarakat golongan miskin yang rentan terhadap harga minyak dan pangan.

Suryo Bambang Sulisto, Ketua Umum Kadin menjelaskan, besarnya subsidi BBM telah menjadi beban negara dan akan menyedot lebih dari seperempat APBN. "Jika hal tersebut tidak ditangani dengan cepat dan tepat, program kegiatan pembangunan infrastruktur akan terhambat, karena anggarannya tersedot subsidi," katanya.

Kadin tidak anti terhadap subsidi, namun subsidi haruslan yang tepat sasaran, berdaya guna, dan efisien dalam pelaksanaan, serta bukan bersifat permanen. (lum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Konglomerat Diajak Bedah Rumah Warga Miskin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler