Berbahasa Jawa, Ganti Njur Ngopo Jadi So What

Kamis, 04 Juli 2013 – 07:03 WIB
KONSISTEN BERKARYA: Hasmi dengan latar belakang lukisan komik Gundala yang terpajang di ruang tamu redaksi Jawa Pos. Foto: Beky Subechi/JAWA POS/JPNN
Harya Suraminata alias Hasmi telah melahirkan kisah jagoan super Gundala Putra Petir yang terbit pada 1969. Setelah beraksi dalam 23 judul, kisah Gundala tidak berlanjut sejak 1981. Kini bapak Gundala, Hasmi, akan melahirkan superhero baru.
 
AGUNG PUTU ISKANDAR, Surabaya
==============================

"Kowe kudu ndang tuku senar gitar."
"Kenopo?"
"Iki senar gitar pedot."
"Nek aku emoh, so what?"
 
Dialog-dialog seperti itu berkelebatan dalam benak Hasmi. Dia sedang menggodok sosok superhero yang akan tampil dalam bahasa Jawa. Ceritanya, superhero baru tersebut berlatar belakang "anak band". Karena itu, persoalan keseharian mereka tidak jauh dari urusan anak-anak yang menggeluti musik.

Meski superhero Jawa, tidak semua dialognya menggunakan bahasa Jawa. Apalagi, latar belakang sang jagoan adalah anak band yang bahasanya harus gaul. Karena itu, Hasmi tidak berdaya juga jika akhirnya harus menyerap kata-kata "so what" yang sangat keminggris dalam dialog jagoan baru tersebut.

"Ini memang superhero berbahasa Jawa. Tapi, masak semua harus serba tradisional" Terus, anak band mainnya lagu campursari" Kan juga tidak. Bahasanya juga harus gaul. Yang seharusnya pakai kata njur ngopo saya ganti jadi so what," tuturnya saat ditemui Jawa Pos di Empire Palace, Surabaya, Rabu (3/7).
 
Hasmi bertandang ke Surabaya dalam rangka pementasan Gundala Gawat di Empire Palace pada Kamis (4/7) dan Jumat (5/7). Dalam lakon yang dimainkan Teater Gandrik dengan naskah tulisan Goenawan Mohamad itu, bapak dua putri tersebut juga ikut bermain. Kemarin dia tiba di lokasi pementasan.
 
Pembawaan Hasmi tetap kalem dan simpel. Dia mengenakan kaus oblong plus sandal gunung yang dipadu celana bahan. Sekilas, gayanya terlihat lemes. Apalagi, beberapa uban tampak menghiasi rambut keritingnya. Namun, begitu Jawa Pos mengajaknya berbicara soal pahlawan super dan komik, semangat Hasmi tampak menyala-nyala.
 
"Saya hidup dengan Gundala sudah puluhan tahun. Saya masih punya semangat untuk jagoan-jagoan asli Indonesia," ujarnya.
 
Lelaki kelahiran Jogjakarta, 25 Desember 1946, itu mengungkapkan, dirinya merilis superhero baru dalam waktu dekat. Namun, bentuknya bukan komik, tapi sisipan di suatu majalah berbahasa Jawa. Hasmi sudah teken kontrak untuk membikin komik di majalah tersebut. Syarat yang dibebankan kepada dia cuma satu: sang jagoan harus berbahasa Jawa.
 
Bagi Hasmi, syarat itu justru menantang dirinya untuk lebih kreatif. Dia menyadari, figur superhero adalah sosok universal dan global. Superhero merupakan panutan masyarakat dunia modern. "Padahal, bahasa daerah selalu memberikan kesan tradisional. Tapi, justru di sini tantangannya," ujarnya.
 
Kisah jagoan baru tersebut terinspirasi konflik antara Rhoma Irama dan Inul Daratista pada 2003. Ketika itu, Rhoma sebagai raja dangdut menuding Inul menodai citra musik dangdut yang selama ini dia perjuangkan. "Ibaratnya, ini permusuhan antara senior dan junior," tuturnya.
 
Dalam kisah baru itu, latar belakangnya bukan musik dangdut, tapi musik rock. Sang jagoan adalah salah seorang teknisi di band rock yang beranggota anak-anak muda. Keberadaan mereka ditentang musisi rock senior. Seorang "Rhoma Irama"-nya musik rock dalam kisah itu lantas memasang jebakan bahan peledak di bas drum grup band sang jagoan.
 
"Bas drum ini kalau pedalnya ditekan dalam tekanan tertentu akan meledak. Bisa mati semua anggota bandnya. Tapi, tentu saja tidak semudah itu, wong dia superhero," ungkap lelaki 66 tahun tersebut.
 
Dalam kehidupannya sebagai manusia, sang jagoan justru seorang pencundang. Di grup band tersebut, dia bukan musisi utama. Dia bahkan hanya anak suruhan yang menjadi teknisi di band tersebut. Dia juga sering hanya jadi kalah-kalahan.
"Dia paling susah kalau naksir cewek. Sering gagal," ujar Hasmi.
 
Lantas, apa kekuatan super jagoan tersebut" Hasmi merahasiakan. "Nanti kalau saya ungkapkan sekarang, tidak seru lagi," katanya lalu tersenyum.
 
Hasmi kini memang tidak bisa lagi membuat komik dalam bentuk buku. Selain ongkos produksi yang mahal, dia kini harus melalui birokrasi di Bumi Langit yang memegang royalti Gundala. Dia sekarang lebih banyak menggarap komik-komik lepas di majalah atau surat kabar. Untuk jagoan baru itu pun, Hasmi harus menunggu kontrak di majalah berbahasa Jawa tersebut.
 
Melahirkan superhero asli Indonesia tidak gampang. Prosesnya tidak semudah mengadaptasi pahlawan super Amerika Serikat (AS) atau Jepang ke dalam konteks Indonesia. Sebab, latar belakang masyarakat AS atau Jepang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Upaya mengimpor jagoan dari dua negara itu ke Indonesia tidak akan mengakar kuat di benak masyarakat.
 
Dia mencontohkan masyarakat AS yang memiliki tradisi ilmu pengetahuan sangat kuat. Karena itu, superhero mereka lahir dari proses-proses science. Misalnya, kelompok mutan dalam kisah X-Men. Para mutan tersebut lahir dari mutasi genetika dalam proses evolusi yang terjadi selama ribuan tahun. Mereka mendapat kekuatan super karena mengalami proses evolusi lebih cepat daripada manusia lainnya.
 
Begitu pula Spider-man. Peter Parker yang menjadi manusia laba-laba itu digigit binatang berjaring yang sudah terkena radiasi. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pada superhero Iron Man. Tony Stark melengkapi dirinya dengan peralatan yang sarat teknologi militer. "Dalam konteks Indonesia, hal-hal seperti itu tidak bisa mengakar," tegasnya.
 
Superhero asli Indonesia, kata dia, harus memiliki roh. Yakni, akar-akar kepercayaan tradisional masyarakat. Apalagi, basis masyarakat Indonesia adalah agraris. Masyarakat pertanian lebih memercayai hal-hal yang berhubungan dengan mitologi daripada science fiction. Gundala, misalnya. Dia merupakan anak raja petir yang terinspirasi mitologi Dewa Zeus.
 
"Superhero di Indonesia lebih cocok, misalnya, jika dia mendapat kekuatan setelah masuk ke kawah Gunung Semeru. Jangankan science fiction, masyarakat kita yang percaya animisme dan dinamisme itu masih banyak," ungkapnya.
 
Hasmi mengakui, Indonesia saat ini kebanjiran superhero dari Jepang dan AS. Terutama Jepang yang mendominasi dalam hal komik alias manga. Namun, itu seharusnya tidak menciutkan nyali komikus tanah air. Komikus Indonesia harus melawan dengan karya.
 
Hasmi justru sangat menghargai jika ada komikus Indonesia yang menciptakan superhero baru. Dia mendorong anak-anak muda untuk tidak takut merilis karya-karyanya. Tapi, mereka harus percaya diri dengan identitas Indonesia. Hasmi menyayangkan jika mereka menciptakan jagoan yang "ke-Jepang-Jepang-an"ï¿ ½.
 
"Misalnya, biar mirip komik Jepang, nama tokohnya Nikitocowo. Mengapa harus malu kalau tokohnya diberi nama Ngadiono" Kan itu nama asli orang Indonesia. Kemudian, kejadiannya di Klaten. Kan tidak apa-apa. Justru itu menunjukkan identitas asli kita," ujarnya.
 
Sangat mungkin, kata Hasmi, hal tersebut terjadi di meja penerbitan. Para penerbit mengganti nama-nama Indonesia dengan nama Jepang karena ingin mendongkrak penjualan. Padahal, upaya itu justru mencerabut identitas keindonesiaan.
 
Dia juga optimistis anak-anak Indonesia mampu menciptakan superhero yang lebih dahsyat daripada jagoan-jagoan AS dan Jepang. Bahkan, dari pengalamannya bertemu sineas Indonesia, efek-efek spesial para jagoan di layar lebar sudah bisa dibuat orang Indonesia.
 
"Cuma, masalahnya di biaya. Apakah ada orang yang mau membiayai" Butuh orang kaya yang gila untuk bisa membuatnya. Soalnya, ini gambling dalam arti sebenarnya. Modal kembali saja sudah seperti untung," ungkapnya. (*/c5/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita tentang PSK Dolly dengan 1001 Tamu

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler