Berdasarkan Pakta Integritas, Anas Perlu Dinonaktifkan

Jumat, 15 Februari 2013 – 19:36 WIB
JAKARTA - Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan mengambil alih pimpinan partai yang didirikannya. Ia memutuskan itu agar Anas fokus menghadapi persoalan dugaan korupsi.

Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat (PD), Ulil Abshar Abdalla menilai tindakan yang dilakukan SBY sangat drastis. Namun demikian, tindakan yang dilakukan SBY itu sudah sangat wajar.

"Dalam situasi darurat anda harus mengambil tindakan drastis. Dalam keadaan darurat anda boleh melakukan yang bahkan dalam situasi normal enggak boleh," kata Ulil di Jakarta, Jumat (15/2).

Ulil sendiri menyetujui bahwa Anas Urbaningrum perlu dinonaktifkan sebagai Ketua Umum PD. Sehingga Anas dapat berkonsentrasi dengan kasus dugaan korupsi yang menyeret-nyeret namanya.

"Ini sesuai dengan butir dari enam atau tujuh dalam delapan butir Pakta Integritas itu," kata Ulil.

Namun demikian, imbuh Ulil, jika nantinya Anas terbukti bebas dari dugaan korupsi maka partai wajib memulihkan reputasinya.

Untuk diketahui, status hukum Anas ditentukan dalam penyelidikan terkait adanya dugaan aliran dana kepada penyelenggara negara dari proyek pembangunan sport center Hambalang.

Di penyelidikan tersebut, Anas terseret dugaan penerimaan mobil Toyota Harrier, yang dananya diduga dari PT Adhi Karya Tbk, perusahaan negara yang memenangi tender proyek Hambalang.

Mobil yang dibeli pada 12 September 2009 itu dibeli dari dealer PT Duta Motor, di Pecenongan, Jakarta Pusat. Nilai pembeliannya Rp 670 juta. Pembelian dilakukan dengan cek senilai Rp 520 juta. Sedangkan sisanya dilunasi dengan cek.

KPK saat ini juga sudah menyidik kasus korupsi dalam proses pengadaan, dengan tersangka mantan Menpora Andi Mallarangeng dan mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar. Dalam proses itu, nama Anas terseret dugaan mengintervensi proses sertifikasi lahan Hambalang.

Ignatius Mulyono mengaku pernah diperintah Anas untuk menghubungi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) kala itu, Joyo Winoto, untuk membereskan sertifikat tanah Hambalang. Ignatius adalah anggota Fraksi Partai Demokrat di komisi pemerintahan DPR yang merupakan mitra kerja BPN.

Berdasarkan informasi, seluruh pimpinan sudah sepakat Anas bisa dijerat untuk kasus Harrier. Namun beberapa pimpinan masih ingin mengaitkan penerimaan Harrier sebagai bagian dari dugaan megakorupsi dalam proyek di Kemenpora tersebut.

Juru Bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan, berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK bisa mengusut gratifikasi atau suap tanpa ambang batas nominal.

Pembatasan korupsi senilai Rp1 miliar, hanya berlaku untuk pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. "Kewenangan KPK, kalau suap atau gratifikasi bisa berapa pun," ujar Johan. (gil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Buka Rapimda, Anas Tebar Optimisme

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler