JAKARTA - Ketua Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, Asep Yunan Firdaus mengatakan penting atau tidaknya Komisi Pertanahan sangat tergantung dari cara pandang penguasa dalam memahami konflik pertanahan yang saat ini terjadi. Kalau cara pandang penguasa mempersepsi tidak ada masalah dengan pertanahan, dengan sendirinya tidak ada konflik tanah tersebut.
"Beda halnya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melihat konflik pertanahan sudah masuk dalam kategori extraordinary, maka dengan sendirinya pasti bangsa ini memerlukan Komisi Pertanahan untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang sesungguhnya sudah masuk kategori extraordinary," kata Asep Yunan Firdaus, dalam diskusi bertema "RUU Pertanahan", di press room DPR, Senayan Jakarta, Selasa (30/4).
Menurut Asep, dari sisi kepentingan penguasa, andai ada 1 juta nyawa melayang di setiap tahunnya yang dipicu oleh konflik tanah, itu belum cukup bagi penguasa untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian sepanjang konflik tersebut masih di tataran masyarakat.
Demikian juga halnya kalau perseteruan itu hanya antara masyarakat melawan TNI, Polri atau Kementerian Kehutanan. "Presiden pasti akan mengambil posisi membiarkan karena pada akhirnya masyarakat pasti kalah meski konflik tersebut terjadi secara massif di Indonesia," ungkapnya.
Presiden SBY, menurut Asep akan segera membentuk Komisi Pertanahan kalau jutaan nyawa melayang akibat konflik tanah dan itu disoroti oleh dunia internasional.
"Seperti proses terbentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU itu dibentuk pemerintah atas tekanan IMF. Komisi Pertanahan tentu nantinya akan dibentuk pemerintah kalau ada sorotan dunia internasional terhadap konflik tanah," ujar Asep.
Pekerjaan utama kita semua, kata dia, adalah mengangkat konflik pertanahan menjadi isu internasional hingga ada perhatian dunia dan dengan cara seperti itu pasti pemerintah meresponnya.
"Kalau mengharapkan RUU Pertanahan bisa menyelesaikan konflik yang saat ini terjadi rasanya masih sangat jauh karena RUU Pertanahan itu sudah masuk ke DPR semenjak tahun 2000 dan hingga 2013 ini semakin tidak jelas pembahasannya," ujar Asep Yunan Firdaus.(fas/jpnn)
"Beda halnya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melihat konflik pertanahan sudah masuk dalam kategori extraordinary, maka dengan sendirinya pasti bangsa ini memerlukan Komisi Pertanahan untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang sesungguhnya sudah masuk kategori extraordinary," kata Asep Yunan Firdaus, dalam diskusi bertema "RUU Pertanahan", di press room DPR, Senayan Jakarta, Selasa (30/4).
Menurut Asep, dari sisi kepentingan penguasa, andai ada 1 juta nyawa melayang di setiap tahunnya yang dipicu oleh konflik tanah, itu belum cukup bagi penguasa untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian sepanjang konflik tersebut masih di tataran masyarakat.
Demikian juga halnya kalau perseteruan itu hanya antara masyarakat melawan TNI, Polri atau Kementerian Kehutanan. "Presiden pasti akan mengambil posisi membiarkan karena pada akhirnya masyarakat pasti kalah meski konflik tersebut terjadi secara massif di Indonesia," ungkapnya.
Presiden SBY, menurut Asep akan segera membentuk Komisi Pertanahan kalau jutaan nyawa melayang akibat konflik tanah dan itu disoroti oleh dunia internasional.
"Seperti proses terbentuknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU itu dibentuk pemerintah atas tekanan IMF. Komisi Pertanahan tentu nantinya akan dibentuk pemerintah kalau ada sorotan dunia internasional terhadap konflik tanah," ujar Asep.
Pekerjaan utama kita semua, kata dia, adalah mengangkat konflik pertanahan menjadi isu internasional hingga ada perhatian dunia dan dengan cara seperti itu pasti pemerintah meresponnya.
"Kalau mengharapkan RUU Pertanahan bisa menyelesaikan konflik yang saat ini terjadi rasanya masih sangat jauh karena RUU Pertanahan itu sudah masuk ke DPR semenjak tahun 2000 dan hingga 2013 ini semakin tidak jelas pembahasannya," ujar Asep Yunan Firdaus.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tangkal Dampak Negatif Budaya Asing dengan Pendidikan Moral
Redaktur : Tim Redaksi