Siapa yang harus disalahkan karena menyebarkan desas-desus palsu secara daring? Sebuah studi baru menunjukkan bahwa itu bukan hanya andil aplikasi perangkat lunak otomatis yang berbahaya. Kita-pun turut berperan.
Sebuah tim ilmuwan Amerika Serikat (AS) menemukan, berita palsu menyebar "lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas" dari berita sebenarnya di Twitter antara 2006 dan 2017.
BACA JUGA: Jessica Mauboy Bawakan We Got Love di Eurovision
Studi mereka, yang diterbitkan pada hari Jumat (9/3/2018) di jurnal Science, adalah salah satu penyelidikan jangka panjang terbesar tentang berita palsu di media sosial yang pernah dilakukan.
Peran media sosial dalam menyebarkan informasi yang keliru, yang didorong oleh aplikasi perangkat lunak otomatis berbahaya telah banyak diteliti sejak terpilihnya Presiden AS Donald Trump pada tahun 2016.
BACA JUGA: Krill, Udang Kecil Jadi Senjata Ampuh Atasi Sampah Plastik
Pada bulan Februari, Departemen Kehakiman AS menuduh 13 orang Rusia dengan tuduhan mencoba "mempromosikan perselisihan di Amerika Serikat" dengan berlagak sebagai orang Amerika di media sosial.
"Kebetulan studi kami selesai pada saat yang sama dengan 'berita palsu' menjadi pembicaraan di kota ini," kata Dr. Soroush Vosoughi dari Institut Teknologi Massachusetts.
BACA JUGA: Jumlah Perempuan Aborigin yang Bekerja Meningkat
Temuan penelitian itu menunjukkan bahwa kebenaran mungkin merupakan komoditas langka: kebenaran biasanya memakan waktu sekitar enam kali sepanjang berita palsu mencapai 1.500 orang.
Axel Bruns, seorang profesor di Pusat Penelitian Media Digital Universitas Queensland, yang bukan bagian dari penelitian ini, mengatakan bahwa hasilnya membantu membuktikan peribahasa:
"Kebohongan bisa tersebar setengah jalan dari keliling dunia sebelum kebenarannya muncul."
Sementara studi ini didanai oleh Twitter (yang juga memberi tim itu akses ke arsip tweet yang sungguh bersejarah), Dr Vosoughi mengatakan bahwa hal itu dilakukan secara independen.Mana yang benar dan mana yang salah?
Meski kekhawatiran tentang "berita palsu" yang baru-baru ini muncul berfokus pada cerita politik, Dr Vosoughi dan rekannya juga melihat pada cerita rakyat, bisnis, terorisme, sains, hiburan dan bencana alam.
Mereka menganalisa 126.000 "terusan rumor " -postingan Twitter yang berisi tautan, komentar atau gambar tentang sebuah cerita -yang disebarkan oleh 3 juta orang sebanyak lebih dari 4,5 juta kali.
Berita politik adalah kategori rumor terbesar dengan sekitar 45.000 "terusan".
Misalnya, lonjakan gosip terjadi selama peristiwa geopolitik seperti aneksasi Crimea pada tahun 2014 dan Pemilihan Presiden AS 2012 dan 2016 berlangsung.
Para peneliti memilih cerita yang telah diteliti oleh enam situs pengecekan fakta termasuk snopes.com dan politifact.com.
Tapi metode ini mungkin telah melewatkan cara lain yang lebih halus untuk menyebarkan berita palsu, kata Profesor Bruns.
"Ada juga kecenderungan orang-orang yang menyebarkan informasi keliru atau kekurangan tak utuh untuk menyembunyikan berita palsu ini dalam sebuah cerita yang menurutnya cukup logis dan berdasarkan fakta," sebutnya.
"Mungkin ada area setengah-kebenaran dan cerita setengah palsu abu-abu yang disebarluaskan." Photo: Perwakilan dari Facebook, Twitter dan Google menghadap Komite Kehakiman Senat AS pada bulan Oktober 2017 di Wahington DC. (Getty Images: Chip Somodevilla)
Aplikasi perangkat lunak otomatis itu buruk tapi seberapa burukkah?
Baru-baru ini, perusahaan media sosial diminta untuk menghadapi anggota Parlemen AS dan Inggris tentang peran aplikasi perangkat lunak otomatis di platform mereka.
Para peneliti menemukan bahwa aplikasi perangkat lunak otomatis berbahaya mempercepat penyebaran berita, namun ada sedikit perbedaan dalam bagaimana berita palsu atau benar menyebar saat aplikasi otomatis itu dihapus dari analisa.
"Kami tidak mengatakan bahwa aplikasi otomatis berbahaya tidak memiliki efek, tapi mereka tidak bisa menjelaskan semuanya," kata Dr Vosoughi.
Ia mengatakan bahwa dirinya tidak yakin apakah aplikasi perangkat lunak otomatis akan lebih menonjol jika penelitian tersebut hanya berfokus pada berita politik.
"Jika kami membatasi penelitian kami hanya pada rumor politik seputar Pemilu 2016, maka dugaan saya - dan ini hanya dugaan - Anda akan melihat aplikasi perangkat lunak otomatis memainkan peran yang jauh lebih besar," kata Dr Vosoughi.
Tidak semua aplikasi perangkat lunak otomatis berbahaya, misalnya, penerbit menggunakan mereka untuk secara otomatis mengunggah berita utama.
Profesor Bruns menunjukkan bahwa memasang aplikasi otomatis secara strategis juga bertujuan untuk membuat postingan terlihat pada tab cerita yang sedang tren di Twitter dengan retweeting massal, misalnya, daripada menyebarkan cerita palsu terlebih dahulu.
"Aplikasi otomatis bisa memulai visibilitas, tapi karena itu terlihat, manusialah yang berperan besar dalam menyampaikannya," kata Prof Burns.Mengapa kita menyebarkan berita palsu?
Studi ini hanya memberikan satu bagian gambaran tentang bagaimana kepalsuan menyebar secara daring.
Untuk satu hal, itu hanya melihat rumor berbahasa Inggris, kata Dr Vosoughi.
Sementara para peneliti menunjukkan bahwa berita palsu dibagikan lebih sering karena sifat kebaruannya, Dr Vosoughi mengatakan bahwa lebih banyak penelitian tentang motivasi orang-orang yang berbagi konten ini dan dampaknya dibutuhkan.
Apakah itu benar-benar mengubah pikiran orang?
Sejauh ini, Twitter sebagian besar menolak menjadi "arbiter kebenaran," kata Nick Pickles, kepala kebijakan publik Twitter untuk Inggris.
"Kami tidak akan menghapus konten berdasarkan fakta bahwa ini tidak benar," katanya kepada anggota Parlemen Inggris pada bulan Februari.
"Saya tidak berpikir perusahaan teknologi harus memutuskan selama Pemilu apa yang benar dan yang tidak benar, yang Anda minta kami lakukan."
Dr Vosoughi sekarang melihat intervensi untuk mencoba dan menghentikan penyebaran berita palsu.
Misalnya, orang-orang yang cenderung berbagi informasi, tapi begitu reseptif terhadap pesan tentang apakah item itu benar atau salah, bisa bertindak sebagai "simpul pengaruh" agar berita yang dipertanyakan tidak menyebar.
Dalam kondisi panik atau tidak, Dr Vosoughi mengatakan perusahaan media sosial mungkin perlu campur tangan.
"Di satu sisi, semakin banyak keterlibatan yang diperoleh Twitter, semakin baik kondisinya untum model bisnis mereka."
"Saya tak akan bilang bahwa platform ini terlena tapi mereka punya peran besar untuk mengatasi isu ini," sebut Dr Vosoughi.
Twitter menolak berkomentar.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Ada 10 Laporan Keluhan Terhadap Barnaby Joyce